NOTIS.CO.ID - Presiden AS Donald Trump secara tiba-tiba mengumumkan kenaikan tarif impor baru terhadap berbagai negara, termasuk Indonesia, pasar langsung bereaksi, dan nilai tukar Rupiah menjadi salah satu yang ikut merasakan getarannya.
Kenaikan tarif yang diberlakukan Trump memicu ketidakpastian global dan menciptakan tekanan bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia, apalagi ketika kebijakan itu dianggap tidak punya arah yang jelas.
Dampak Kebijakan Tarif Trump Terhadap Nilai Tukar Rupiah
Langkah Trump kali ini bikin banyak analis geleng-geleng kepala, termasuk Lukman Leong, analis mata uang yang menyebut kebijakan tersebut sangat tidak rasional dan tidak jelas.
"Ya belum tahu apa yang akan ditawarkan Indonesia, mengingat tarif (yang diberlakukan) Trump sangat tidak rasional dan tidak jelas, sedangkan dampaknya lumayan besar. AS itu menyumbangkan sekitar 10 persen total ekspor dan 5 persen total impor," kata Lukman, di Jakarta, Sabtu (5/4/2025).
Kondisi ini jelas berisiko buat pasar Indonesia.
Sebagai negara dengan mata uang emerging market (EM), Rupiah berpotensi terguncang bila investor asing mulai mengalihkan dananya ke aset yang dianggap lebih aman.
Meski saat ini indeks dolar AS sedang melemah karena investor banyak melepas dolar, tetap saja ada kekhawatiran fluktuasi Rupiah makin tinggi.
"Untuk saat ini, mungkin Rupiah masih aman, mengingat investor justru melepas US$ sehingga indeks dolar AS saat ini berada di level terendah dalam 6 bulan. Namun sebagai mata uang EM, Rupiah diperkirakan akan bergejolak atau volatile," lanjut Lukman.
Masalahnya, pasar global gampang sekali terpengaruh oleh manuver sepihak dari negara besar seperti AS.
Ketika arah kebijakan tidak jelas, risiko jadi tidak terukur.
Investor jadi enggan menaruh dana di pasar negara berkembang, apalagi jika sinyal dari pemerintah domestik juga belum kuat.
Peran Bank Indonesia dalam Menjaga Stabilitas Rupiah
Untuk menghadapi situasi seperti ini, Lukman menyarankan Bank Indonesia untuk sigap dan terus melakukan intervensi.
Langkah ini penting supaya Rupiah tidak menembus batas psikologis Rp18.000 per dolar AS.
Menurutnya, intervensi BI bisa jadi jalan satu-satunya agar kepercayaan pasar tetap terjaga di tengah derasnya sentimen global yang negatif terhadap pasar negara berkembang.
Namun, tentu ada harga yang harus dibayar. Intervensi besar-besaran bakal menggerus cadangan devisa negara.
Makin besar gejolaknya, makin dalam juga BI harus merogoh 'kocek' untuk stabilisasi.
Tapi di titik seperti sekarang, pilihan itu jauh lebih baik daripada membiarkan nilai tukar makin liar.
Negara-negara berkembang yang bergantung pada impor barang modal dan energi akan menghadapi tekanan inflasi yang tak bisa diremehkan jika Rupiah terus melemah.
Negara-negara ASEAN dan BRICS Perlu Aksi Bersama Hadapi Gejolak Mata Uang
Bukan hanya Indonesia yang harus waspada.
Negara-negara ASEAN dan anggota BRICS juga menghadapi tekanan yang sama dari kebijakan sepihak AS ini.
Lukman bahkan menyarankan agar negara-negara ini segera memperkuat koordinasi dalam menghadapi gejolak ekonomi global.
"ASEAN mesti bekerja sama dalam hal ini, dan juga BRICS untuk paling tidak bisa menahan gejolak pada mata uang," ujarnya.
Kerja sama kawasan seperti ini sangat dibutuhkan untuk membangun pertahanan kolektif di sektor keuangan.
Ketika dolar AS bergerak liar dan kebijakan tarif makin agresif, hanya koordinasi regional yang bisa menjaga kestabilan ekonomi kawasan.
Negara seperti Malaysia, Kamboja, Vietnam, dan Thailand juga jadi sasaran tarif tinggi dari Trump, masing-masing 24 persen, 49 persen, 46 persen, dan 36 persen. Indonesia sendiri tak kalah kena batunya, dengan tarif mencapai 32 persen.