Kesepakatan Transfer Data Pribadi Indonesia AS Picu Isu Kedaulatan Digital

Kesepakatan transfer data pribadi Indonesia AS menjadi momen penting arah kedaulatan digital dan ekonomi data.
Trinita Adelia - Kamis, 24 Jul 2025 - 20:11 WIB
Kesepakatan Transfer Data Pribadi Indonesia AS Picu Isu Kedaulatan Digital
Donald Trump - Instagram @realdonaldtrump
Advertisements

NOTIS.CO.ID - Kesepakatan transfer Data Pribadi antara Indonesia dan Amerika Serikat (AS) kini menjadi sorotan karena dianggap membawa dampak besar bagi arah kedaulatan digital.

Perjanjian ini bukan sekadar persoalan teknis, melainkan sinyal geopolitik yang akan mempengaruhi posisi Indonesia di ranah digital internasional.

Melansir dari inilah.com Chairman Lembaga Riset Keamanan Siber CISSReC, Pratama Persadha, menilai langkah ini harus dibaca lebih dalam dan tidak hanya dipandang sebagai urusan administrasi.

“Pernyataan resmi Gedung Putih menandai babak baru relasi digital Indonesia-AS. Ini bukan cuma urusan dagang, tapi soal arah Kedaulatan Digital kita ke depan,” ujarnya, dikutip Kamis (24/7/2025).

Pratama memandang keterbukaan Indonesia terhadap arus data global memang bisa dilakukan, tetapi Kedaulatan Digital tetap wajib dijaga.

Aturan yang berlaku di dalam negeri, khususnya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP), menjadi landasan penting dalam memastikan hak digital warga tetap terlindungi.

UU PDP Izinkan Transfer Data Pribadi ke Luar Negeri 

Pratama menjelaskan bahwa UU PDP tidak serta-merta melarang pengiriman data pribadi ke negara lain.

Pasal 56 dalam aturan tersebut memperbolehkan Transfer Data apabila negara tujuan memiliki standar perlindungan data yang setara atau sudah terikat dengan perjanjian internasional yang jelas.

Ia menegaskan pentingnya langkah cepat dari pemerintah untuk menyusun Peraturan Pemerintah (PP PDP) sebagai payung teknis.

Selain itu, pembentukan Lembaga Pengawas Perlindungan Data Pribadi (LPPDP) yang independen menjadi sangat mendesak agar pengawasan dapat berjalan efektif.

Tanpa adanya lembaga pengawas yang kuat, akan sulit bagi Indonesia untuk memastikan apakah AS yang sampai saat ini belum memiliki undang-undang federal setara General Data Protection Regulation (GDPR) layak menjadi tujuan aliran Data Pribadi dari Indonesia.

Potensi Cek Kosong Bila Tanpa Aturan Jelas

Pratama memberi peringatan bahwa kerja sama ini tidak boleh menjadi “cek kosong” yang memungkinkan pihak asing mengakses data warga Indonesia tanpa kontrol yang memadai dan tanpa batas waktu yang tegas.

“Harus ada standar evaluasi objektif terhadap negara tujuan Transfer Data. Bila perlu, disusun kesepakatan bilateral yang menjamin hak-hak digital warga, seperti hak untuk dihapus, hak diberitahu, dan hak untuk menggugat,” tegasnya.

Langkah ini dianggap penting agar Indonesia tidak hanya menjadi pasar pasif dalam ekonomi digital global.

Dengan pengawasan yang tepat, Indonesia dapat berperan aktif dan turut menentukan arsitektur tata kelola data dunia yang lebih adil.

Peluang Memimpin ASEAN dalam Tata Kelola Data

Lebih jauh, Pratama menilai Indonesia memiliki peluang besar untuk memimpin di kawasan ASEAN dalam hal kebijakan dan tata kelola data yang seimbang.

Dengan memegang prinsip non-blok digital di tengah rivalitas AS dan Tiongkok, posisi Indonesia bisa menjadi penentu stabilitas digital kawasan.

Ia mengingatkan bahwa Data Pribadi bukan sekadar informasi, melainkan bahan baku utama bagi pengembangan teknologi seperti kecerdasan buatan dan algoritma bisnis.

Jika dibiarkan mengalir tanpa pengaturan, data tersebut hanya akan memperkaya pihak luar yang kemudian menjual kembali produknya ke dalam negeri.

“Negara harus hadir agar manfaat ekonomi dari data bisa dinikmati rakyat. Transfer Data lintas batas harus dibarengi dengan penguatan infrastruktur digital, riset domestik, dan kemandirian teknologi,” ujarnya.

Momentum Konsolidasi Nasional dalam Kedaulatan Data

Pratama menegaskan bahwa kesepakatan Transfer Data ini seharusnya menjadi titik awal untuk memperkuat konsolidasi nasional dalam urusan tata kelola data.

Perjalanan ini tidak boleh berhenti pada perjanjian di atas kertas, tetapi harus ditindaklanjuti dengan sistem yang kokoh.

“Pemerintah harus membangun sistem yang patuh hukum, punya legitimasi publik, dan kapabilitas teknis. Jika itu bisa dilakukan, Indonesia bukan sekadar objek, tapi aktor utama dalam arsitektur data global yang berkelanjutan,” pungkasnya.

Advertisements
Share:
Editor: Trinita Adelia
Source:

Baca Juga

Rekomendasi

Advertisements