Awal Pemerintahan Prabowo Konsumsi Lesu dan PHK Meningkat

Trinita Adelia - Kamis, 08 Mei 2025 - 17:00 WIB
Awal Pemerintahan Prabowo Konsumsi Lesu dan PHK Meningkat
Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming - Instagram @prabowo
Advertisements

NOTIS.CO.ID - Ekonomi Indonesia mulai menunjukkan tanda-tanda lesu yang cukup serius di awal 2025.

Dengan angka pertumbuhan yang tidak lagi setangguh dulu dan gejala konsumsi rumah tangga yang mulai melemah, membuat kekhawatiran soal daya tahan ekonomi makin nyata.

Pertumbuhan Ekonomi Indonesia makin tersendat di awal 2025

Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I-2025 hanya mencatat angka 4,87% secara tahunan, dan ini bukan sekadar angka kecil, tapi juga sinyal bahwa ekonomi sedang melemah.

Dibanding kuartal IV-2024 yang masih tumbuh 5,02%, serta kuartal I-2024 yang mencapai 5,11%, jelas ada tren yang menurun.

Penurunan ini disorot oleh Deni Friawan, Peneliti Senior CSIS, yang menyebut, "Saat ini kesimpulan yang bisa kami sampaikan adalah memang belum gelap gulita tapi mendungnya sudah ada," saat konferensi pers bertajuk "Setengah Tahun Pemerintahan Prabowo”. 

Turunnya pertumbuhan tak bisa dilepaskan dari konsumsi rumah tangga yang lesu.

Sebagai penopang utama produk domestik bruto (PDB), konsumsi masyarakat tak lagi memberikan dorongan berarti bagi laju ekonomi nasional.

Konsumsi rumah tangga sebagai penopang utama mulai melemah

Komponen konsumsi rumah tangga, yang berkontribusi 54,53% terhadap PDB nasional, hanya tumbuh 4,89% year-on-year pada kuartal I-2025.

Ini mencerminkan daya beli masyarakat yang makin tergerus, apalagi kalau melihat tren pertumbuhan konsumsi selama setahun terakhir yang terus stagnan di bawah 5%.

Terakhir kali konsumsi rumah tangga tumbuh lebih dari 5% terjadi pada kuartal III-2023, saat itu masih di angka 5,05%.

Setelahnya, malah terus menurun kuartal IV-2023 hanya 4,47%, lalu sepanjang 2024 angkanya pun hanya berkisar di antara 4,9% tanpa menunjukkan pemulihan berarti.

“Kita juga tidak bisa menegasikan sama sekali bahwa pada faktanya telah terjadi pelemahan daya beli. Kita bisa lihatnya dari data core inflasi dan komponen inflasi yang lain yang juga dia tetap melambat,” ujar Deni. 

Ekspor tersendat dan Nilai Tukar Rupiah ikut terpuruk

Di tengah lemahnya permintaan domestik, harapan bisa saja bertumpu pada sektor eksternal seperti ekspor, namun situasinya ternyata tak lebih baik.

Perang tarif global yang digagas Donald Trump terhadap sejumlah negara, termasuk China, telah mengguncang rantai pasok dan membuat lalu lintas ekspor-impor ikut kacau.

Akibatnya, kinerja Ekspor Indonesia tidak mampu mengangkat ekonomi secara signifikan.

Ditambah lagi, Nilai Tukar Rupiah makin tertekan sejak awal pemerintahan Presiden Prabowo.

“Dari sisi eksternal nilai tukar kita juga terus melambat sejak Prabowo berkuasa hingga saat ini Nilai Tukar Rupiah itu telah terdepresiasi, sempat terdepresiasi hingga Rp 16.858/US$ atau sebesar 9,5% dari awal Prabowo berkuasa,” kata Deni.

Kondisi ini memperlihatkan ketahanan eksternal yang melemah, di mana rupiah sulit menguat meski indeks dolar AS juga sedang mengalami tekanan akibat gejolak perang dagang global.

Belanja negara minim dan APBN tidak memberikan kepercayaan pasar

Selain tantangan eksternal, kondisi dalam negeri pun tak kalah rumit.

Ketahanan fiskal juga mulai dipertanyakan karena belanja pemerintah yang seharusnya bisa menopang ekonomi malah mencatatkan minus.

“Jadi yang ada, ketiadaan APBN yang definitif pasca efisiensi anggaran itu membuat bukan hanya confidence dari pelaku ekonomi itu melemah tapi juga itu akan menimbulkan masalah governance,” ujar Deni.

Kepercayaan pelaku usaha dan investor bisa goyah saat pemerintah tidak menunjukkan arah kebijakan yang pasti.

Lonjakan PHK membuat ekonomi riil makin rapuh

Pemutusan hubungan kerja (PHK) makin marak dan ini memberi efek domino ke daya beli, konsumsi, dan stabilitas sosial.

Jika kondisi ini terus dibiarkan, bukan cuma pertumbuhan ekonomi yang melemah, tapi juga kesejahteraan masyarakat ikut terancam.

“Dari gambaran data-data yang telah kami sampaikan itu kita bisa menyatakan bahwa iya perekonomian kita memang belum hujan deras tapi mendungnya sudah ada. Kalau tidak ada antisipasi perbaikan dari pemerintah gelap itu menjadi sebuah keniscayaan,” ucap Deni.

Tidak sedikit perusahaan mulai melakukan efisiensi tenaga kerja, sementara kesempatan kerja baru tidak tumbuh cepat.

Ini membuat tekanan sosial dan ekonomi makin meningkat dari bawah, memperburuk sentimen terhadap arah kebijakan ekonomi.

Advertisements
Share:
Editor: Trinita Adelia
Source:

Baca Juga

Rekomendasi

Advertisements