NOTIS.CO.ID - Ketika suasana ekonomi dalam negeri makin bergejolak, para konglomerat di Indonesia perlahan mengalihkan dananya ke luar negeri.
Mulai dari membeli properti mewah hingga memborong aset kripto, sebagai bentuk perlindungan dari ketidakpastian ekonomi yang dipicu perang dagang global.
Alasan Orang Kaya Indonesia was-was dengan kondisi ekonomi yang tak pasti
Para pemilik kekayaan besar di Indonesia mulai merasa waswas sejak kebijakan ekonomi global berubah secara signifikan, khususnya setelah Presiden AS Donald Trump kembali menghidupkan perang tarif yang berdampak luas ke negara berkembang, termasuk Indonesia.
Perubahan tajam dalam Nilai Tukar Rupiah yang sempat menyentuh titik nadir membuat para elite finansial mulai mencari zona aman untuk menyelamatkan harta mereka.
Menurut laporan Bloomberg, kelompok ultra-kaya dalam negeri secara diam-diam memindahkan sebagian besar dana mereka ke luar negeri sejak Oktober 2024.
Langkah ini makin masif setelah Rupiah jeblok hingga tembus Rp16.000 per dolar AS pada Maret 2025.
Dalam kondisi seperti ini, emas dan properti di luar negeri jadi incaran utama karena dinilai sebagai aset safe haven yang lebih stabil dan minim risiko.
Tak hanya itu, mereka juga mulai aktif bertransaksi kripto, terutama stablecoin seperti USDT milik Tether Holdings SA, yang nilainya dikaitkan langsung dengan dolar AS.
“Saya makin sering membeli USDT (stablecoin) dalam beberapa bulan terakhir. Ini memudahkan saya untuk menjaga nilai aset, atau memindahkannya ke luar negeri bila perlu. Tanpa harus membawanya secara fisik ke perbastasan,” ungkap seorang mantan eksekutif puncak dari salah satu konglomerasi besar di Indonesia.
Eksodus aset ke luar negeri meningkat seiring pelemahan rupiah
Kondisi Ekonomi Indonesia saat ini sedang diuji, tidak hanya oleh faktor eksternal seperti perang dagang, tapi juga karena ketidakpastian kebijakan fiskal dalam negeri.
Banyak kalangan menilai bahwa belanja negara yang terus membengkak berpotensi merusak disiplin fiskal yang sebelumnya sudah dibangun secara ketat oleh pemerintahan terdahulu. Ini membuat investor makin khawatir terhadap masa depan ekonomi nasional.
Bloomberg mewawancarai lebih dari 12 orang dari kalangan bankir, manajer kekayaan, dan penasihat keuangan yang membenarkan bahwa arus dana keluar dari Indonesia meningkat drastis.
Bahkan, seorang bankir swasta menyebut bahwa beberapa kliennya dari Indonesia yang memiliki kekayaan di kisaran USD 100 juta hingga USD 400 juta (sekitar Rp1,6 triliun hingga Rp6,5 triliun), mengalokasikan setidaknya 10 persen aset mereka ke dalam bentuk kripto.
Laju perpindahan aset ini diam-diam menyita perhatian pelaku pasar.
Dikhawatirkan, jika tren ini terus berlanjut, maka Nilai Tukar Rupiah bisa kembali terguncang, bahkan lebih dalam dibanding krisis sebelumnya.
Pada 9 April 2025, Rupiah sempat mencapai titik terendah sepanjang sejarah sebelum akhirnya sedikit menguat keesokan harinya, seiring perhitungan ulang investor atas dampak tarif resiprokal oleh Donald Trump.
Ketidakpastian fiskal dan politik dalam negeri picu kepanikan diam-diam
Kekhawatiran kalangan kaya bukan cuma soal nilai tukar atau perang dagang, tetapi juga menyangkut arah kebijakan politik di dalam negeri.
Menurut laporan yang sama, banyak elite usaha mempertanyakan peran militer yang makin meluas, kebijakan strategis soal BUMN, hingga potensi peningkatan belanja negara yang tidak dibarengi dengan efisiensi pajak.
Semua ini dinilai bisa menambah volatilitas pasar keuangan.
Ada kekhawatiran bahwa belanja negara yang agresif akan menyebabkan defisit fiskal makin dalam, sementara utang pemerintah terus bertambah.
Jika sudah begitu, skenario kenaikan pajak dan tekanan inflasi pun jadi tak terelakkan.
Di tengah tekanan ini, eksodus modal dari Indonesia mengingatkan banyak pihak pada situasi 1998, ketika krisis Asia membuat banyak dana lari keluar negeri dalam waktu cepat.
Sebagai catatan, Indonesia adalah ekonomi terbesar di Asia Tenggara.
Maka ketika para miliardernya saja sudah mulai memindahkan uang mereka ke tempat yang lebih aman, itu jadi sinyal keras bahwa stabilitas fiskal dan politik negara sedang dalam sorotan.
Bahkan, ada kemungkinan tujuan pemerintah mendorong pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen bisa terganjal jika tak ada strategi fiskal dan moneter yang solid.
Para pelaku pasar dan elite bisnis tentu tak mau mengulangi skenario pahit seperti dua dekade lalu.
Jadi wajar saja bila mereka kini memilih langkah diam-diam demi menjaga kelangsungan kekayaan mereka, sambil tetap menanti kejelasan arah kebijakan ekonomi nasional yang tak kunjung pasti.