Ekonomi Indonesia Terancam, HIPMI Desak Pemerintah Ambil Langkah Konkret

Trinita Adelia - Jumat, 04 Apr 2025 - 16:00 WIB
Ekonomi Indonesia Terancam, HIPMI Desak Pemerintah Ambil Langkah Konkret
Anggawira, Sekjen HIPMI - Instagram @anggawira.id
Advertisements

NOTIS.CO.ID - Tekanan ekonomi global yang semakin meningkat mulai terasa dampaknya pada sektor usaha di Indonesia.

Sekretaris Jenderal Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI), Anggawira, menyoroti beberapa faktor yang memperburuk situasi, termasuk kejatuhan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), pelemahan nilai tukar rupiah, kebijakan tarif baru dari Presiden Amerika Serikat Donald Trump, hingga pengetatan anggaran yang memengaruhi program prioritas nasional.

Kejatuhan IHSG dan Dampak Trading Halt

"Kondisi ini membutuhkan kebijakan yang lebih berani, terukur, dan pro-pengusaha untuk menjaga stabilitas ekonomi serta memastikan pertumbuhan yang inklusif. Jika tidak ada langkah konkret dari pemerintah, tekanan terhadap dunia usaha akan semakin besar dan memperlambat pemulihan ekonomi nasional," ujar Anggawira dalam keterangan resmi, Kamis (3/4/2025).

Ketidakstabilan pasar modal menjadi salah satu indikasi tekanan ekonomi global yang kian berat.

IHSG mengalami penurunan tajam hingga memicu trading halt.

Investor global mulai menarik modalnya dari pasar Indonesia akibat sentimen negatif yang ditimbulkan oleh kebijakan ekonomi AS dan ketegangan geopolitik dunia.

Sementara itu, nilai tukar rupiah turut tertekan hingga mencapai level Rp16.700 per dolar AS.

Penurunan ini semakin diperparah oleh aliran modal asing yang keluar dari pasar modal Indonesia.

Situasi ini menciptakan tantangan besar bagi dunia usaha, terutama bagi industri yang bergantung pada bahan baku impor.

Tarif Baru Trump dan Dampaknya terhadap Ekspor Indonesia

"Pengumuman kebijakan US Reciprocal Tariffs Plan oleh Donald Trump menambah beban bagi industri dalam negeri," ungkap Anggawira.

Kebijakan tarif baru ini memberikan pukulan besar terhadap Ekspor Indonesia.

Produk-produk lokal yang dikirim ke Amerika Serikat kini dikenai tarif sebesar 32%, yang menyebabkan harga barang Indonesia di pasar AS menjadi lebih mahal.

Kondisi ini berisiko menurunkan daya saing sektor manufaktur, khususnya industri berbasis ekspor seperti tekstil, elektronik, dan otomotif.

Selain Indonesia, beberapa negara di Asia Tenggara seperti Malaysia, Kamboja, Vietnam, dan Thailand juga terkena dampak kebijakan ini dengan tarif masing-masing sebesar 24%, 49%, 46%, dan 36%.

Ketergantungan Indonesia terhadap pasar ekspor AS membuat kebijakan ini semakin mengkhawatirkan bagi pertumbuhan ekonomi nasional.

Kepercayaan Investor terhadap Danantara

Anggawira juga menyoroti reaksi investor terhadap pembentukan Danantara, sebuah inisiatif yang bertujuan mengonsolidasikan BUMN sebagai motor pertumbuhan ekonomi.

"Danantara mendapat tantangan yang berat karena reaksi pasar yang masih cenderung negatif," jelasnya.

HIPMI menilai bahwa untuk meningkatkan kepercayaan investor, kebijakan investasi Danantara harus dikelola dengan transparansi tinggi dan strategi yang jelas.

Bank-bank BUMN diharapkan tetap menerapkan prinsip kehati-hatian dalam pembiayaan proyek-proyek yang masuk dalam portofolio Danantara agar tidak menimbulkan risiko fiskal baru di masa mendatang.

Dampak Fiskal dari Program Makan Siang Bergizi

Salah satu kebijakan pemerintah yang menjadi perhatian HIPMI adalah program makan siang bergizi.

"Program Makan Siang Bergizi yang direncanakan pemerintah berpotensi membebani anggaran negara secara signifikan jika tidak dirancang dengan baik. Dengan defisit fiskal yang sudah tinggi, HIPMI meminta pemerintah memastikan bahwa program ini dijalankan secara efisien tanpa mengorbankan sektor produktif," tukas Anggawira.

HIPMI merekomendasikan agar pelaksanaan program ini dilakukan melalui berbagai pendekatan.

Tidak hanya dengan pembangunan dapur umum, tetapi juga menggunakan sistem berbasis voucher serta menggandeng UMKM lokal sebagai penyedia makanan.

Hal ini diharapkan dapat mengoptimalkan manfaat program tanpa membebani APBN secara berlebihan.

Langkah Strategis yang Direkomendasikan HIPMI

Menghadapi situasi ini, HIPMI mendorong pemerintah untuk segera mengambil langkah konkret guna menjaga stabilitas ekonomi dan mendukung dunia usaha.

Dalam jangka pendek (0-6 bulan), langkah-langkah yang perlu diambil meliputi intervensi Bank Indonesia untuk menstabilkan rupiah, pemberian stimulus fiskal bagi sektor yang terdampak Tarif AS, serta peningkatan pengawasan terhadap sektor keuangan berbasis fintech.

Transparansi dalam regulasi keuangan menjadi faktor penting untuk menjaga kepercayaan investor domestik maupun asing.

Pada jangka menengah (6-18 bulan), diversifikasi pasar ekspor menjadi prioritas utama.

Indonesia perlu mempercepat perjanjian dagang dengan Uni Eropa, Timur Tengah, dan Afrika untuk mengurangi ketergantungan terhadap pasar AS.

Selain itu, evaluasi terhadap program makan siang bergizi harus dilakukan agar kebijakan ini tidak mengganggu stabilitas fiskal.

Penguatan investasi domestik dengan penyederhanaan regulasi dan reformasi birokrasi juga menjadi agenda penting bagi pemerintah.

Dalam jangka panjang (>18 bulan), transformasi ekonomi melalui hilirisasi industri menjadi langkah fundamental.

Fokus pada sektor bernilai tambah seperti petrokimia, elektronik, dan kendaraan listrik dapat meningkatkan daya saing Indonesia di pasar global.

Selain itu, penguatan regulasi di sektor keuangan dan peningkatan literasi keuangan bagi masyarakat menjadi faktor penting untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang lebih stabil.

"HIPMI berharap pemerintah dapat merespon situasi ini dengan kebijakan yang cepat, tepat, dan berdampak nyata bagi dunia usaha. Jika tidak ada langkah konkret, ketidakpastian ekonomi bisa semakin dalam dan berdampak negatif bagi pengusaha serta masyarakat luas," pungkas Anggawira.

Advertisements
Share:
Editor: Trinita Adelia
Source:

Baca Juga

Rekomendasi

Advertisements