NOTIS.CO.ID - Kebijakan perdagangan internasional kembali memanas setelah Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, mengumumkan kenaikan tarif resiprokal bagi berbagai negara, termasuk Indonesia.
Langkah ini diprediksi membawa dampak signifikan terhadap stabilitas ekonomi dalam negeri, terutama dalam hal nilai tukar rupiah dan arus modal asing.
Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhistira, menegaskan bahwa kebijakan ini bisa memperburuk kondisi Ekonomi Indonesia.
“Dampak kenaikan tarif resiprokal yang diumumkan Trump akan berdampak signifikan ke Ekonomi Indonesia,” ungkap Bhima dikutip dari inilah.com, Jumat (4/4/2025).
Rupiah Terancam Melemah hingga Rp17.200 per Dolar AS
Pelemahan rupiah menjadi salah satu risiko utama yang muncul akibat kebijakan baru dari Washington.
Dengan tarif yang lebih tinggi untuk barang-barang Indonesia yang masuk ke pasar AS, arus investasi diperkirakan akan terganggu, sehingga berdampak langsung pada nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
Bhima menjelaskan bahwa tekanan terhadap rupiah bisa semakin besar dalam beberapa waktu ke depan. Jika arus modal asing keluar dari pasar Indonesia, mata uang rupiah bisa terus mengalami depresiasi.
“Tekanan rupiah wajib diwaspadai efeknya ke imported inflation (harga barang impor jadi lebih mahal), menekan daya beli lebih lanjut terutama pangan, dan kebutuhan sekunder (perlengkapan rumah tangga, elektronik). Rupiah diproyeksi menyentuh level Rp17.000-Rp17.200 dalam waktu dekat,” ujarnya.
Kenaikan harga barang impor akibat pelemahan rupiah juga bisa berdampak luas pada daya beli masyarakat.
Ketika barang kebutuhan sehari-hari semakin mahal, beban ekonomi masyarakat pun bertambah, terutama di sektor konsumsi yang menjadi penggerak utama perekonomian Indonesia.
Pasar Saham Berpotensi Alami Capital Outflow
Selain menekan rupiah, kebijakan tarif resiprokal juga berisiko menyebabkan keluarnya modal asing (capital outflow) dari pasar saham Indonesia.
Setelah libur Lebaran, investor di Bursa Efek Indonesia (BEI) diprediksi akan menghadapi situasi yang lebih menantang.
Bhima memperkirakan bahwa pasar saham Indonesia bisa mengalami tekanan jual yang besar karena investor asing memilih menarik dananya untuk mencari pasar yang lebih stabil.
Bahkan, ada kemungkinan Bursa Efek Indonesia kembali mengalami trading halt jika tekanan jual terjadi dalam skala besar.
“Trading halt bukan tidak mungkin terjadi lagi,” ucapnya.
Dalam situasi seperti ini, otoritas keuangan perlu menyiapkan langkah antisipatif untuk menjaga stabilitas pasar modal.
Intervensi melalui kebijakan moneter dan fiskal yang tepat dapat membantu menjaga kepercayaan investor terhadap kondisi Ekonomi Indonesia.
Indonesia Termasuk dalam Daftar Negara yang Terkena Tarif Tinggi
Pemerintah AS telah menetapkan bahwa Indonesia masuk dalam daftar negara yang terkena kenaikan tarif cukup tinggi.
Berdasarkan unggahan resmi Gedung Putih, tarif untuk produk Indonesia yang masuk ke AS dinaikkan hingga 32 persen.
Indonesia berada di urutan kedelapan dalam daftar negara yang terkena dampak dari kebijakan ini.
Selain Indonesia, negara-negara Asia Tenggara lainnya seperti Malaysia, Kamboja, Vietnam, dan Thailand juga masuk dalam daftar tersebut dengan tarif baru masing-masing sebesar 24 persen, 49 persen, 46 persen, dan 36 persen.
Secara keseluruhan, kebijakan ini akan mempersulit akses Ekspor Indonesia ke pasar AS.
Sektor manufaktur, terutama yang bergantung pada pasar ekspor, bisa mengalami tekanan yang cukup berat.
Dalam jangka panjang, dampak ini bisa meluas ke sektor ketenagakerjaan dan pertumbuhan ekonomi nasional.