NOTIS.CO.ID - Hubungan antara Universitas Harvard dan Pemerintah AS sedang benar-benar memanas setelah Kementerian Keamanan Dalam Negeri (DHS) memberikan ultimatum keras kepada kampus bergengsi itu terkait visa pelajar asing.
Dalam pernyataan tegas yang disampaikan langsung oleh Menteri Keamanan Dalam Negeri Kristi Noem pada Rabu, 16 April 2025, Harvard diancam tidak lagi diperbolehkan menerima mahasiswa asing jika tak mematuhi tuntutan pemerintah.
Salah satu permintaan utamanya adalah agar Harvard menyerahkan data lengkap aktivitas para mahasiswa asing pemegang visa pelajar.
“Dan jika Harvard tidak dapat memverifikasi bahwa mereka sepenuhnya mematuhi persyaratan pelaporan, universitas akan kehilangan keistimewaan untuk menerima mahasiswa asing,” ujar Noem, seperti dikutip dari Reuters pada Kamis, 17 April.
Surat resmi dari DHS juga meminta Harvard mengirim catatan aktivitas mahasiswa asing yang terlibat dalam aksi kekerasan atau kegiatan ilegal paling lambat 30 April 2025.
Ini bukan cuma sekadar prosedur administratif, melainkan sudah masuk ke ranah ideologi dan kebebasan sipil yang membuat banyak kalangan di dunia pendidikan waspada terhadap arah kebijakan yang diambil pemerintahan Donald Trump.
Pembatalan hibah jutaan dolar jadi bagian dari tekanan politik
Bukan cuma ancaman administratif, tekanan terhadap Harvard juga datang dalam bentuk pencabutan dana hibah.
Kristi Noem mengumumkan bahwa pemerintah secara resmi telah menghentikan dua hibah dengan total nilai lebih dari USD 2,7 juta yang sebelumnya ditujukan untuk Harvard.
Lebih lanjut, Noem menyebutkan bahwa Harvard memiliki dana abadi yang besar yakni sekitar USD 53,2 miliar dan karena itu seharusnya bisa menanggung sendiri segala bentuk “kekacauan” di kampusnya.
“Dengan dana abadi sebesar USD 53,2 miliar, Harvard dapat mendanai kekacauannya sendiri -- DHS tidak akan melakukannya,” ucapnya.
Ia juga menuduh bahwa ideologi anti-Amerika dan pro-Hamas telah tumbuh subur di lingkungan kampus Harvard.
Langkah pencabutan hibah ini jelas bukan hanya soal anggaran, tapi menyiratkan pesan politik, siapa pun yang tidak sejalan dengan kebijakan pemerintahan Trump, terutama terkait dukungan terhadap Israel dan penolakan terhadap Hamas, harus siap menanggung konsekuensinya termasuk di sektor pendidikan.
Respons tegas Harvard terhadap tekanan dari pemerintahan Trump
Pihak Harvard sendiri sudah memberikan tanggapan atas surat dan keputusan yang dikeluarkan Noem.
Juru bicara universitas mengatakan bahwa mereka telah mengetahui surat tersebut dan sedang meninjaunya secara seksama.
Meski begitu, pihak kampus tetap mempertahankan sikap yang konsisten soal kebebasan akademik dan hak konstitusional mereka.
“Universitas tetap berpegang pada pernyataan sebelumnya bahwa tidak akan menyerahkan kemerdekaannya atau melepas hak konstitusinya,” tegas perwakilan Harvard.
Sebagai tambahan, kampus ini menegaskan komitmennya untuk memerangi antisemitisme dan segala bentuk prasangka di lingkungan akademik, sambil tetap menjaga ruang untuk kebebasan berekspresi dan unjuk rasa damai.
Posisi ini muncul sebagai tanggapan terhadap tuduhan dari Trump dan pendukungnya yang menuding aksi protes pro-Palestina di kampus sebagai bentuk dukungan terhadap ekstremisme dan antisemitisme.
Tahun lalu, pemerintahan Trump juga sudah menegaskan posisinya dengan mencoba mencabut ratusan Visa Pelajar asing yang terlibat dalam unjuk rasa serupa di berbagai kampus.
Trump bahkan menyebut bahwa mereka yang turun ke jalan dalam aksi pro-Palestina merupakan ancaman terhadap kebijakan luar negeri AS.
Ia mencap para demonstran, termasuk dari komunitas Yahudi sendiri, sebagai simpatisan Hamas—tuduhan yang langsung dibantah oleh para peserta aksi yang menegaskan bahwa dukungan terhadap Palestina bukan berarti mendukung kekerasan atau kebencian.
Ketegangan ini bukan sekadar tarik ulur kebijakan visa atau dana hibah, tapi sudah jadi medan pertempuran ideologis tentang kebebasan berpendapat, hak asasi, dan batas campur tangan pemerintah terhadap dunia pendidikan tinggi di Amerika.