NOTIS.CO.ID - Harga Emas terus menanjak mendekati rekor tertingginya, bahkan sempat menyentuh angka fantastis US$3.128,06 per ons, didorong ketidakpastian pasar akibat potensi kebijakan tarif tinggi Donald Trump.
Logam mulia ini jadi pilihan utama karena sejak dulu dianggap aman. Tapi menariknya, Goldman Sachs justru menyarankan yen Jepang sebagai pilihan yang lebih solid dibanding emas untuk menghadapi situasi ini.
Kondisi pasar yang lagi panas membuat harga Emas melesat lebih dari 18% dalam satu kuartal kenaikan tertinggi sejak 1986 dan efek domino juga bikin harga logam lain seperti perak, platinum, dan paladium ikut terdongkrak.
Lembaga finansial besar seperti Goldman Sachs, Bank of America (BofA), dan UBS pun tak mau ketinggalan dengan mengerek target harga Emas terbaru mereka untuk tahun ini dan tahun depan.
Bahkan, Goldman optimis Emas bisa sentuh US$3.300 per ons akhir tahun nanti.
Goldman Sachs lebih menjagokan yen sebagai Lindung Nilai utama terhadap ketidakpastian ekonomi AS, dengan proyeksi nilai tukar yen akan menguat sampai ke level 140 per dolar AS—sekitar 7% lebih tinggi dari posisi saat ini, dan jauh lebih optimis ketimbang proyeksi pasar yang cenderung lebih hati-hati di kisaran 145.
Goldman Sachs optimis yen Jepang bakal lebih tangguh dari Emas dalam hadapi resesi
Langkah Goldman Sachs yang memprioritaskan yen sebagai aset aman bukan tanpa alasan, terutama karena mata uang ini dikenal stabil saat saham AS dan suku bunga riil sedang tertekan.
Kamakshya Trivedi dari Goldman Sachs bilang kalau yen sangat efektif sebagai pelindung nilai ketika tekanan ekonomi AS meningkat.
"Yen adalah Lindung Nilai yang efektif ketika suku bunga riil dan saham AS turun secara bersamaan," jelasnya.
Menariknya, tim Trivedi tahun lalu sempat memproyeksikan nilai tukar yen di angka 155, 150, dan 145 untuk jangka waktu 3, 6, dan 12 bulan.
Faktanya, yen sempat terjun bebas sampai 155 pada April lalu dan sekarang kembali berputar di angka sekitar 150, menunjukkan dinamika yang sangat dipengaruhi ekspektasi pasar terhadap ekonomi AS dan kebijakan suku bunga.
Ketika sinyal-sinyal perlambatan mulai muncul dari data ketenagakerjaan AS, termasuk penurunan lowongan kerja, mata uang Jepang itu langsung menunjukkan respons positif.
Proyeksi The Fed dan BoJ bikin investor makin waspada di tengah ketidakpastian global
Di tengah prediksi tarif tinggi dari Trump yang bisa memukul ekonomi AS, Bank of Japan (BoJ) malah sedang mempersiapkan kebijakan moneternya menjadi lebih ketat.
Banyak ekonom memperkirakan kenaikan suku bunga bisa dilakukan paling cepat bulan depan, dan bukan tak mungkin hal itu terjadi saat Jepang sedang musim bunga sakura yang justru dibarengi kenaikan harga bahan pokok.
Sementara itu, Goldman Sachs sendiri sudah merevisi prediksi soal The Fed dari dua kali pemangkasan suku bunga jadi tiga kali sepanjang tahun ini.
Mereka khawatir Tarif Trump bakal memicu penurunan ekonomi yang lebih dalam, dan itu juga berdampak pada pergerakan indeks S&P 500 yang targetnya langsung dipangkas oleh Goldman karena potensi tekanan terhadap laba perusahaan besar AS.
Namun yen tetap punya risiko bawaan, terutama karena perbedaan suku bunga dengan AS yang masih cukup besar.
Dalam empat tahun terakhir, yen sempat terpuruk sampai 161,95 per dolar AS—terendah sejak 1986.
Tapi kemudian mulai berubah. Posisi jual yen oleh hedge fund menurun, dan rencana BoJ untuk mengurangi pembelian obligasi jangka panjang di kuartal berikutnya bisa bikin dolar-yen makin melemah.