BI Kewalahan Mengembalikan Stabilitas Kurs Rupiah yang Tembus Rp 17.000

Trinita Adelia - Selasa, 08 Apr 2025 - 10:00 WIB
BI Kewalahan Mengembalikan Stabilitas Kurs Rupiah yang Tembus Rp 17.000
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo - Dok. Bank Indonesia
Advertisements

NOTIS.CO.ID - Merosotnya nilai tukar rupiah sampai menyentuh angka Rp17.000 per dolar AS bukan cuma angin lalu.

Kondisi ini menjadi sinyal keras soal rapuhnya pertahanan Ekonomi Indonesia saat tekanan global memanas, apalagi setelah Amerika Serikat mengumumkan kenaikan tarif impor dari berbagai negara, termasuk Indonesia sendiri.

Pada Senin, 7 April 2025, Rupiah resmi ditutup di level Rp16.822 per dolar AS. Angka ini melemah 169 poin atau sekitar 1,01 persen dibanding penutupan sebelumnya di Rp16.653. Bahkan, di pasar luar negeri, sempat menyentuh titik ekstrem Rp17.006.

Jadi, wajar kalau publik mulai bertanya-tanya, apa kabar Bank Indonesia?

Dampak kebijakan tarif AS terhadap stabilitas Rupiah

Langkah Presiden AS Donald Trump yang kembali menaikkan tarif bea masuk langsung menyulut ketegangan baru di pasar finansial dunia.

Negara-negara yang jadi target kebijakan ini otomatis kena imbasnya, dan sayangnya Indonesia termasuk yang paling terpukul.

Yang bikin miris, mata uang Rupiah tercatat sebagai yang paling lemah di kawasan Asia Tenggara selama awal April ini.

Padahal, dampak kebijakan tarif AS-China dirasakan hampir seluruh dunia, tapi negara seperti Vietnam, India, dan Filipina masih bisa menahan depresiasi mata uangnya.

Kalau negara lain bisa tetap stabil, berarti memang ada yang keliru di dalam negeri.

Ini bukan soal sentimen global semata, tapi soal seberapa kuat fondasi ekonomi domestik kita dibangun untuk menghadapi tekanan seperti ini.

Kritik terhadap peran Bank Indonesia dalam mengantisipasi depresiasi rupiah

Ekonom dari UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, dengan tegas menyebut bahwa BI terlalu bergantung pada narasi lama, bahwa pelemahan rupiah adalah akibat eksternal.

"Ini bukan sekadar persoalan eksternal, melainkan ketidaksiapan BI dan pemerintah dalam membangun ketahanan ekonomi domestik yang tahan banting," ungkapnya di Jakarta, Senin (7/4/2025).  

Menurutnya, ada ketidaksiapan serius dari sisi kebijakan domestik yang bikin Rupiah makin gampang tertekan.

Ketika sinyal dari AS soal kebijakan tarif sudah jelas sejak awal Maret 2025, seharusnya BI langsung menyiapkan langkah antisipatif.

Tapi yang terjadi malah sebaliknya, intervensi dilakukan setelah kondisi sudah jatuh parah, dan itu pun hanya di pasar Non-Deliverable Forward (NDF), bukan langkah strategis jangka panjang.

Langkah-langkah seperti ini, menurut Achmad, lebih cocok disebut pemadam kebakaran, bukan proteksi preventif.

Apalagi saat intervensi itu dilakukan, Rupiah hampir menyentuh Rp17.200. Sudah telat dan dampaknya kecil.

Perbandingan dengan strategi bank sentral di Asia Tenggara

Bank Sentral Filipina (BSP) jadi contoh menarik dalam kasus ini.

Begitu AS mengeluarkan ancaman tarif di awal tahun, BSP langsung memperkuat posisi peso mereka dengan strategi forward contracts dan menambah cadangan devisa sejak dini.

Hasilnya? Peso Filipina hanya terdepresiasi sekitar 6,8 persen dari awal Februari hingga awal April 2025.

Bandingkan dengan Rupiah yang anjlok sampai 13,2 persen pada periode yang sama. Perbedaan itu cukup jelas menggambarkan siapa yang lebih siap dan siapa yang hanya bereaksi setelah kejadian.

"Ada pengambil kebijakan (policy makers) yang tepat (smart) dan ada juga yang tidak tepat, itu semua diukur dari kinerja penurunan depresiasinya," ungkap Achmad.

BSP tidak menunggu hingga mata uang mereka nyaris kolaps untuk bertindak. Mereka melakukan manuver cerdas sejak awal, bukan sekadar damage control setelah semuanya terlanjur hancur.

Evaluasi terhadap kebijakan moneter dan transparansi publik

Menurut Achmad, meski kebijakan moneter memang bersifat kompleks, tetap saja publik berhak mengukur efektivitasnya dari hasil yang nyata.

Kalau depresiasi sebesar ini terjadi, artinya ada yang tidak berjalan sesuai harapan.

Bahkan muncul dugaan liar, apakah benar semua langkah itu dilakukan secara profesional, atau ada praktik yang menyimpang.

"Ini bukan sekadar soal gagal menstabilkan mata uang, tapi juga soal akuntabilitas publik," katanya.

Sebab, BI sudah menghabiskan anggaran besar untuk menjaga kestabilan Rupiah.

Tapi kalau hasilnya justru makin jeblok, publik patut bertanya, ada apa di balik layar.

Advertisements
Share:
Editor: Trinita Adelia
Source:

Baca Juga

Rekomendasi

Advertisements