NOTIS.CO.ID - Ketika pemerintahan Donald Trump memutuskan untuk menaikkan tarif impor terhadap hampir 60 negara lewat kebijakan yang dinamai tarif timbal balik, banyak negara mitra dagang langsung memasang kuda-kuda karena khawatir dampaknya akan mengganggu stabilitas ekonomi mereka.
Tapi ternyata, ada satu negara kecil di tengah Samudra Pasifik yang lolos dari gebrakan tarif ini, dan itu bukan tanpa alasan.
Tarif timbal balik ini digagas sebagai bentuk respons langsung terhadap perlakuan serupa yang diterapkan kepada barang-barang asal Amerika Serikat.
Jadi, kalau ada negara yang mengenakan bea masuk tinggi dan hambatan non-tarif kepada produk AS, maka negeri Paman Sam membalas dengan kebijakan setimpal.
Dalam sebuah unggahan media sosial, Trump mengabarkan bahwa tarif impor tersebut untuk sementara dihentikan.
Kebijakan yang sedianya berlaku mulai 9 April 2025 itu diputuskan ditunda selama 90 hari.
Trump menyiratkan bahwa gejolak pasar keuangan yang muncul setelah pengumuman awal menjadi salah satu alasan utama.
Ketika pasar mendadak tidak stabil, pemerintah AS pun memilih menahan diri sejenak agar dampak buruknya tak semakin meluas ke berbagai sektor lainnya.
Palau lolos dari tarif AS di tengah tekanan global
Dari seluruh negara yang masuk radar tarif, Palau menjadi salah satu yang bisa bernapas lega karena tak masuk dalam daftar target kebijakan.
Presiden Palau, Surangel Whipps Jr., saat berada di Sydney, menyampaikan optimisme bahwa AS akan tetap berkomitmen terhadap kawasan Pasifik dan tidak mengambil langkah mundur dari kerja sama strategis yang selama ini terjalin.
Palau, yang merupakan negara kecil dengan jumlah penduduk sekitar 17.000 jiwa, punya hubungan istimewa dengan Amerika Serikat lewat perjanjian asosiasi bebas.
Lewat perjanjian ini, Palau mendapatkan bantuan ekonomi dari AS, sementara AS diberi akses untuk kehadiran militernya di wilayah Palau.
Bantuan ekonomi ini mencakup dana dari USAID, termasuk proyek kabel bawah laut serta program penanggulangan Perubahan Iklim.
Namun belakangan, sebagian besar staf USAID diberhentikan sementara, termasuk yang bekerja di program-program Palau.
"Saya berharap ini adalah kemunduran, penilaian ulang, lalu kembali lebih kuat," kata Surangel Whipps Jr di Sydney Kamis (10/4/2025).
Meski bantuan itu tertunda, Whipps tetap mengedepankan harapan dan menegaskan bahwa fokus utama tetap menjaga keamanan dan hubungan erat dengan AS.
Palau dorong aksi nyata Perubahan Iklim di tengah ketidakpastian geopolitik
Whipps juga mengutip slogan era Reagan, "perdamaian melalui kekuatan," dan mengatakan bahwa "Trump juga suka" dengan filosofi itu.
Dalam pidatonya di Lowy Institute, ia menegaskan bahwa prioritas Palau adalah memastikan kerja sama keamanan dengan AS tetap dipertahankan dan tidak goyah meski ada tekanan fiskal dan tarik ulur kebijakan luar negeri.
Pada masa jabatan pertamanya, Trump pernah mengundang tiga pemimpin negara Pasifik, termasuk dari Palau, untuk membahas isu keamanan di Gedung Putih.
"Yang Palau anggap penting adalah Amerika Serikat yang kuat yang mampu terus menjadi kuat, hal ini baik untuk Palau dan baik untuk planet ini," kata Whipps.
"Jalannya memang berliku-liku, memotong USAID dan kegiatan lainnya, tetapi saya ingin berpikir positif," tambahnya, mengutip Reuters.
Bahkan meskipun dua negara tetangganya, Kepulauan Marshall dan Negara Federasi Mikronesia, terkena dampak tarif, Palau tetap tenang karena tak punya banyak ekspor yang bisa dikenakan bea masuk tinggi oleh AS.
Whipps juga mengingatkan bahwa negara-negara kecil di Pasifik sedang menghadapi ancaman eksistensial dari Perubahan Iklim.
Kenaikan permukaan laut dan semakin seringnya badai tropis membuat wilayah-wilayah ini berada dalam bahaya yang tak bisa diabaikan.
Penarikan AS dari Perjanjian Paris untuk kedua kalinya membuat Palau dan negara-negara Pasifik lainnya merasa perlu untuk bergerak lebih aktif.
Mereka ingin menunjukkan bahwa Perubahan Iklim "bukan sekadar bencana alam lainnya, ini adalah tantangan nyata yang kita hadapi," katanya.
Palau secara terbuka mendukung Australia untuk menjadi tuan rumah konferensi Perubahan Iklim COP31 bersama negara-negara Pasifik.
Meski begitu, Whipps juga menyinggung bahwa Australia termasuk kontributor besar emisi global, terutama karena ekspor batu bara yang terus berlangsung.
Negara-negara di Pasifik ingin menunjukkan kepada publik Australia bahwa menghentikan penggunaan batu bara bukan sekadar simbolik, tapi benar-benar penting untuk masa depan wilayah mereka.