NOTIS.CO.ID - Dunia investasi di Indonesia mulai terasa muram dikarenakan tekanan dari Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, yang menaikkan tarif resiprokal sebesar 32 persen untuk barang-barang asal Indonesia.
Di tengah kondisi itu, para investor asing makin ragu, apalagi dengan arah kebijakan pemerintahan Prabowo yang dinilai belum jelas dan konkret.
Arah kebijakan Presiden Prabowo yang masih abu-abu bikin investor ragu
Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, dengan blak-blakan menyampaikan keresahannya soal ketidakjelasan program ekonomi yang dijalankan pemerintahan saat ini.
Dalam diskusi virtual yang digelar pada Jumat, 11 April 2025, dia bilang, “Jujur saja, banyak pihak, termasuk investor asing, itu merasa pemerintahan Pak Prabowo ini punya banyak rencana, banyak program. Tapi mereka belum melihat adanya rencana konkret, realistis, rasional, yang koheren. Jadi Indonesia ini akan dibawa ke mana.”
Pernyataan itu datang di tengah kekhawatiran global atas kebijakan perdagangan AS yang makin proteksionis.
Trump baru saja mengenakan tarif baru ke banyak negara, termasuk Indonesia, yang langsung bikin sejumlah pelaku pasar panik dan memindahkan investasinya ke luar negeri.
Kondisi ini pun mendorong para pengambil kebijakan di dalam negeri untuk melakukan evaluasi.
Program makan gratis dan rumah rakyat perlu dikaji ulang secara realistis
Salah satu hal yang disorot Wijayanto adalah beban besar dari program-program ambisius seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) dan target membangun 3 juta rumah per tahun.
Menurutnya, program-program ini perlu dikalibrasi, supaya sesuai dengan kapasitas fiskal negara.
“Saya mengusulkan dalam beberapa kesempatan, perlunya pemerintah melakukan kalibrasi rencana besar agar sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan. Program 3 juta rumah per tahun apa iya perlu kita paksakan? Program MBG melayani 83 juta siswa, mulai tahun ini apa iya, kita akan melakukan itu? apa betul yang butuh 83 juta,” ungkapnya.
Tak hanya itu, program lain seperti Koperasi Merah Putih juga ikut jadi sorotan.
Bayangkan saja, kalau anggarannya Rp5 miliar per koperasi dikalikan 80.000 koperasi, berarti butuh sekitar Rp400 triliun! Jumlah yang luar biasa besar untuk dikeluarkan dalam situasi ekonomi yang belum pasti.
“Kemudian program Koperasi Merah Putih, yang memerlukan dana Rp5 miliar dikalikan 80.000, sekitar Rp400 triliun. Apa betul kita akan wujudkan itu. Kemudian BPI Danantara, Alhamdulillah tim saya mengapresiasi solid.,” sambung dia.
Biar nggak makin keruh, Wijayanto menyarankan supaya rencana-rencana besar itu dihitung secara teknokratis dan bisa dipertanggungjawabkan, bukan sekadar ambisi politik.
Langkah konkret yang harus dilakukan kabinet Prabowo untuk redam kekhawatiran pasar
Menurut Wijayanto, ada tiga hal penting yang harus dibenahi oleh para menteri di Kabinet Merah Putih.
“Pertama perbaikan komunikasi, alhamdulillah sudah disadari. Yang kedua perbaikan teknokrasi, ini masih menantang. Program-program besar itu harus dikupas, harus dihitung betul, sehingga justified secara teknokratis. Kemudian yang ketiga adalah perbaikan eksekusi,” tegasnya.
Sementara itu, Trump sendiri memang bikin langkah tak terduga. Pada Rabu, 9 April 2025, ia mengumumkan penundaan tarif impor selama 90 hari untuk sebagian besar negara yang kena dampaknya.
Tapi jangan salah, Trump bukan mencabut atau merelaksasi keputusan tarif resiprokal, tapi hanya menunda.
Artinya, ancaman itu masih menggantung dan bisa meledak kapan saja.
Kalau sampai tarif itu benar-benar diberlakukan, dampaknya bisa sangat serius, bukan cuma buat Indonesia tapi juga ekonomi global.
Indonesia sendiri berada di peringkat delapan negara yang terkena Tarif AS, dan itu bukan satu-satunya negara Asia Tenggara yang jadi korban. Malaysia, Kamboja, Vietnam, dan Thailand juga kena, bahkan dengan tarif yang lebih tinggi.
Investasi dan pasar modal butuh kepastian, bukan sekadar janji manis.
Maka, kalau pemerintah ingin mempertahankan minat investor dan menjaga ekonomi tetap stabil, arah kebijakan mesti jelas, terukur, dan bisa dieksekusi.
Banyak investor asing sudah mulai mundur dari Indonesia dikarenakan kebijakan tarif Donald Trump yang menekan ekspor nasional dan ketidakpastian arah kebijakan ekonomi pemerintahan Prabowo yang masih belum jelas bentuk nyatanya.