NOTIS.CO.ID - Langkah Presiden Prabowo Subianto yang menunjukkan empati terhadap penderitaan rakyat Palestina memang menuai banyak pujian, namun ide mengevakuasi korban Gaza ke Indonesia justru memunculkan pro dan kontra yang cukup tajam di kalangan pengamat politik.
Dalam kacamata politik luar negeri dan perjuangan kemerdekaan Palestina, wacana relokasi warga Gaza justru dianggap bisa memperlemah posisi mereka dalam mempertahankan hak atas tanah airnya sendiri.
Ahmad Fadhli, analis politik dari Trust Indonesia, menjelaskan bahwa menampung para korban bukan solusi ideal.
"Dalam konteks menampung atau merelokasi warga Palestina yang menjadi korban, hemat kami, ini agak keliru," tegas Fadhli.
Ia melihat rencana relokasi ini justru berpotensi melemahkan perjuangan rakyat Palestina karena secara tidak langsung mengindikasikan bahwa eksodus besar-besaran adalah jalan keluar, bukan perlawanan terhadap pendudukan.
Menurut Fadhli, relokasi justru membuka jalan bagi Israel untuk lebih mudah mengambil alih wilayah Gaza.
Secara historis dan geopolitik, konsep relokasi dalam konflik seperti ini sering kali berujung pada legitimasi terhadap pendudukan dan penghapusan hak milik masyarakat asli.
Ketika warga asli suatu wilayah dipindahkan, maka narasi perjuangan bisa tereduksi hanya pada sisi kemanusiaan, dan kehilangan bobot politik serta hak kedaulatan.
Risiko geopolitik dan beban anggaran akibat evakuasi korban Gaza
Selain aspek politik, wacana evakuasi juga mengundang perdebatan dari sisi rasionalitas kebijakan dalam konteks kondisi dalam negeri Indonesia.
Ahmad Fadhli menyampaikan bahwa relokasi warga Gaza ke Indonesia akan memerlukan anggaran besar di tengah kondisi fiskal yang belum stabil.
Menampung ribuan pengungsi dari wilayah konflik tentu saja menimbulkan tantangan besar, baik dari segi pembiayaan maupun kesiapan infrastruktur sosial.
"Di tengah efisiensi dan problem anggaran negara, relokasi tentu bukanlah opsi yang rasional. Presiden Prabowo semestinya meninggalkan opsi menampung warga Palestina," ujarnya.
Situasi ini juga bisa berdampak pada alokasi dana sosial di dalam negeri yang berpotensi tergeser, apalagi jika tanpa dukungan kuat dari parlemen dan masyarakat sipil.
Realitasnya, proses evakuasi massal dari zona perang seperti Gaza ke negara ketiga membutuhkan logistik, diplomasi tingkat tinggi, hingga jaminan stabilitas keamanan.
Dalam situasi geopolitik saat ini, di mana berbagai negara justru memperketat kebijakan imigrasi dan pengungsi, keputusan ini bisa menyulitkan posisi Indonesia secara internasional.
Solusi dukungan internasional lebih efektif daripada relokasi
Ketimbang membuka pintu relokasi, Ahmad Fadhli menilai bahwa pendekatan yang lebih kuat dan strategis adalah dengan mendorong advokasi di forum-forum internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa atau Organisasi Kerja Sama Islam.
Menurutnya, langkah itu jauh lebih efektif dalam menekan Israel untuk menghentikan pelanggaran hak asasi manusia di Palestina.
"Indonesia bisa menggunakan kekuatan forum internasional (PBB, Liga Muslim) untuk menekan Israel dan menghentikan kejahatannya di Palestina," kata Fadhli.
Mendorong tekanan global secara diplomatik akan menciptakan solidaritas internasional yang lebih kuat ketimbang pendekatan kemanusiaan yang justru bisa disalahartikan sebagai penyerahan tanah Palestina.
Wacana evakuasi yang terdengar penuh empati justru berisiko menjadi jebakan diplomatik yang memuluskan agenda pendudukan Israel.
Dengan kata lain, bukannya memperkuat perjuangan Palestina, relokasi bisa menjadi bumerang politik yang berdampak luas.
Prabowo perlu mempertimbangkan ulang langkah ini agar tidak menimbulkan kesalahpahaman strategis, baik di dalam negeri maupun dalam diplomasi internasional.