NOTIS.CO.ID - Respons Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang mempertimbangkan nasib keluarga koruptor dalam pembahasan RUU Perampasan Aset langsung menarik sorotan publik.
Di satu sisi, keinginan untuk menyita aset hasil korupsi dipandang sebagai langkah tegas, namun di sisi lain muncul kekhawatiran akan dampak terhadap istri dan anak yang mungkin tidak terlibat langsung dalam kejahatan tersebut.
Dukungan KPK terhadap RUU Perampasan Aset dan pemiskinan koruptor
Dalam konferensi pers yang berlangsung di Gedung Merah Putih KPK, Tessa Mahardhika, juru bicara lembaga antirasuah itu, menegaskan bahwa secara prinsip KPK berada dalam posisi mendukung penuh pengesahan RUU Perampasan Aset.
Bahkan menurut Tessa, pemiskinan terhadap pelaku korupsi adalah langkah penting untuk memberikan efek jera, sekaligus memulihkan kerugian negara yang selama ini menguap akibat praktik korupsi yang masif.
Meski begitu, Tessa juga menyampaikan bahwa pernyataan Presiden Prabowo soal tidak menyentuh keluarga Koruptor sebaiknya dilihat dari konteks yang lebih luas.
“Terkait mengenai masalah tidak menyentuh keluarganya, tentunya itu perlu dilihat konteksnya. Apabila ada hal-hal yang dinikmati oleh keluarga dan diketahui secara nyata, ada mekanisme di undang-undang tindak pidana pencucian uang,” ujarnya.
KPK tak mempersoalkan bila Prabowo tetap memberikan ruang untuk diskusi soal hak keluarga, selama substansi pemiskinan koruptor tetap menjadi agenda utama dalam pembahasan RUU tersebut.
Pernyataan Presiden Prabowo tentang perlakuan adil kepada keluarga Koruptor
Dalam sebuah wawancara eksklusif bersama tujuh jurnalis di Hambalang, Presiden Prabowo mengutarakan bahwa ia sangat mendukung upaya memiskinkan koruptor, namun tidak ingin terjadi ketidakadilan terhadap anggota keluarga yang tidak tahu-menahu soal kejahatan tersebut.
Ia mengingatkan bahwa dalam semangat keadilan, anak dan istri yang tidak terlibat semestinya tidak boleh ikut menanggung beban dosa yang bukan milik mereka.
“Masalah dimiskinkan, saya berpendapat begini, makanya saya mau negosiasi selalu, kembalikan yang kau curi. Tapi memang susah karena secara sifat manusia, mungkin dia enggak mau ngaku, jadi pertama harus dikasih kesempatan,” ucapnya dalam kutipan yang disampaikan pada Rabu, 9 April 2024.
Dari pernyataan ini, terlihat jelas bahwa pendekatan Prabowo bukan hanya soal penghukuman, tapi juga soal keadilan dan peluang untuk pelaku bertaubat.
Menurutnya, langkah penyitaan aset sangat layak dilakukan, apalagi bila sudah jelas-jelas merugikan negara.
“Tapi kita juga harus adil kepada anak, istrinya. Kalau ada aset yang sudah milik dia sebelum dia menjabat umpamanya,” ujar Prabowo menambahkan.
“Ya nanti para ahli hukum suruh bahas apakah adil anaknya menderita juga? Karena dosa seorang tua sebetulnya kan tidak boleh diturunkan ke anaknya, kira-kira kan begitu. Tapi ini saya minta masukan dari ahli-ahli hukum,” ungkapnya lebih lanjut.
Implikasi RUU Perampasan Aset bagi sistem hukum dan masyarakat Indonesia
RUU Perampasan Aset yang tengah dibahas menjadi sorotan karena akan mengubah secara mendasar cara negara merespons kasus korupsi.
Dalam RUU tersebut, negara akan diberikan kewenangan untuk menyita harta kekayaan hasil tindak pidana, bahkan tanpa harus menunggu vonis pidana tetap.
Ini tentu membuka ruang besar bagi percepatan pengembalian aset, tapi juga mengandung tantangan besar dalam penentuan batas keterlibatan anggota keluarga.
Dengan sistem Hukum Indonesia yang berbasis asas keadilan dan kepastian hukum, RUU ini bisa menjadi pedang bermata dua jika tidak disusun secara cermat.
Satu sisi, bisa menjadi solusi bagi banyak kasus korupsi yang selama ini asetnya lolos dari jerat hukum karena dijadikan atas nama pihak ketiga.
Di sisi lain, jika tidak hati-hati, justru bisa menimbulkan ketidakadilan bagi keluarga yang benar-benar tidak tahu apa-apa.
Sebagai bentuk keadilan restoratif, negara sebaiknya mengedepankan mekanisme verifikasi yang ketat, bukan sekadar sweeping aset.
Proses penyitaan harus melalui audit independen yang transparan dan melibatkan ahli hukum serta pakar hak asasi manusia.
Dengan begitu, RUU ini tidak hanya memberi efek jera, tapi juga menjunjung tinggi prinsip keadilan substantif.