NOTIS.CO.ID - Pemerintah lewat Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman, Maruarar Sirait, sudah menggulirkan rencana besar soal pembangunan 3 juta rumah per tahun, yang katanya akan dimulai setelah Lebaran dan menyasar kelompok seperti guru, nakes, hingga nelayan.
Tapi langkah ini bikin banyak pihak angkat alis, termasuk ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin.
Rencana Pembangunan Rumah berskala besar menuai pertanyaan mendasar
Dalam pernyataannya, Wijayanto atau yang akrab disapa Wija, mempertanyakan urgensi dan logika di balik angka fantastis tersebut.
"Pertama, apa betul Indonesia butuh 3 juta rumah setahun? Bukankah jumlah backlog rumah hanya 12 juta? Kedua, apa betul ada demand-nya? Siapa yang akan beli? Ketiga, bagaimana sumber pendanaannya? Salah-salah ini menciptakan krisis," ujarnya.
Wija membandingkan ambisi ini dengan era Jokowi-JK, di mana target sejuta rumah saja realisasinya hanya berkisar 600 ribu sampai 750 ribu per tahun.
Apalagi, menurutnya, hambatan utama bukan sekadar di anggaran, tapi juga keterbatasan lahan serta minimnya permintaan pasar riil.
Ia khawatir, kalau dipaksakan, program ini bisa jadi bom waktu seperti krisis subprime mortgage yang sempat mengguncang AS tahun 2008.
Dia menjelaskan bagaimana krisis tersebut terjadi akibat kredit macet masif karena masyarakat berpenghasilan rendah dipaksa membeli rumah lewat skema KPR.
Saat kondisi ekonomi memburuk, cicilan mandek, rumah disita, properti dijual murah, dan pasar pun ambruk.
Kekhawatiran krisis properti jika program dipaksakan dalam setahun
Wija menyarankan agar pembangunan 3 juta rumah itu tidak dipaksakan dalam waktu setahun. Menurutnya, skema pembangunan yang lebih realistis adalah dengan memecahnya ke dalam periode lima tahun.
Selain untuk menjaga kestabilan fiskal, pendekatan ini juga bisa meminimalkan risiko lonjakan kredit macet akibat pemaksaan pasar.
Ia juga menyoroti aspek pendanaan yang terlalu menggantungkan pada instrumen utang negara.
"Apalagi BI berjanji akan menyerapnya. Ini jelas akan memperburuk ketergantungan kita kepada utang. Serta menggerus independensi BI," tegas Wija.
Dalam situasi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih, langkah ini bisa berdampak serius pada stabilitas keuangan nasional.
Menurut Wija, Indonesia seharusnya belajar dari krisis global yang sudah pernah terjadi.
Alih-alih mengejar angka besar secara simbolis, pemerintah sebaiknya lebih fokus pada keberlanjutan, efektivitas, dan peta kebutuhan riil masyarakat.
BACA JUGA: Kapal Baru Pemprov Lampung Segera Beroperasi
Tanpa kalkulasi matang, program semegah apapun bisa jadi bumerang.
Dukungan politik dan kebijakan moneter untuk program rumah Prabowo
Di sisi lain, Menteri PKP Maruarar Sirait menegaskan kalau program ini sudah mendapatkan lampu hijau dari Presiden Prabowo Subianto dan Bank Indonesia.
Bahkan, kebijakan makroprudensial BI melalui KLM sudah dipersiapkan untuk menopang pendanaan program ini.
"Kita juga di support oleh Pak Prabowo, Pak Dasco (Wakil Ketua DPR RI) dan Gubernur BI, bagaimana dari relaksasi kebijakan BI kita juga mendapatkan support dana yang besar untuk membangun perumahan," kata Ara.
Ia merinci bahwa pembangunan tahap awal akan difokuskan untuk guru sebanyak 20 ribu unit, tenaga kesehatan 30 ribu unit, nelayan 20 ribu unit, buruh 20 ribu unit, serta personel TNI dan Polri.
Bahkan, disebutkan bahwa pembangunan untuk guru di Bogor sudah dimulai sejak minggu lalu.
Dengan target yang begitu besar dan eksekusi yang sudah dimulai, tantangannya kini bukan hanya soal pendanaan, tapi juga soal kelayakan, keberlanjutan, dan daya serap pasar. Apakah ini langkah strategis atau jebakan utang gaya baru.