NOTIS.CO.ID - Pernyataan Presiden Prabowo Subianto soal penolakan terhadap hukuman mati bagi pelaku Korupsi membuat banyak orang geleng kepala, terutama yang sudah kesal dengan kasus korupsi yang semakin menjamur.
Tetapi, apa yang disampaikan Prabowo justru dinilai sah menurut hukum Indonesia saat ini.
Bahkan, Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, langsung angkat bicara untuk menjelaskan duduk perkaranya.
“Apa yang dikatakan oleh Presiden Prabowo mengenai hukuman mati bagi tindak pidana Korupsi itu benar dilihat dari segi hukum positif yang berlaku," kata Yusril dikutip dari kumparan, Rabu (9/4/2025).
Bukan asal bicara, Yusril menyebut pernyataan tersebut sesuai dengan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi yang berlaku sejak era Presiden Abdurrahman Wahid.
"UU Tipikor memang membuka kemungkinan bagi hakim untuk menjatuhkan hukuman mati bagi terdakwa Korupsi yang terbukti melakukan kejahatan tersebut 'dalam keadaan tertentu'," tambah dia.
UU Tipikor izinkan Hukuman Mati tapi hanya dalam kondisi luar biasa
Yusril menjelaskan, waktu Undang-Undang Tipikor disusun, ada pertimbangan bahwa vonis mati nggak bisa sembarangan dijatuhkan.
Keadaan tertentu yang dimaksud mencakup situasi seperti perang, bencana nasional, atau krisis ekonomi besar-besaran.
"Saya sendiri ketika itu mewakili Presiden membahas RUU tersebut dengan DPR. Dalam keadaan tertentu itu adalah keadaan-keadaan yang luar biasa seperti keadaan perang, krisis ekonomi maupun bencana nasional yang sedang terjadi," jelas Yusril.
Jadi kalau kondisi negara tidak dalam bahaya besar, vonis mati sebenarnya tak relevan.
"Meskipun UU telah membuka kemungkinan bagi hakim untuk menjatuhkan hukuman mati dalam keadaan seperti itu, sampai saat ini belum pernah ada penjatuhan hukuman mati terhadap terdakwa Korupsi,” tambah Yusril.
Grasi dan amnesti tetap jadi hak Presiden termasuk buat napi Korupsi
Yusril juga menekankan kalaupun vonis mati itu dijatuhkan dan sudah inkracht, Presiden masih punya hak penuh untuk memberi grasi atau amnesti.
“Kalaupun grasi atau amnesti tidak diberikan, kapan eksekusi Hukuman Mati akan dilaksanakan, hal itu sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah dalam hal ini Kejaksaan Agung. Sekarang memang cukup banyak narapidana mati yang eksekusinya belum dilaksanakan. Ada yang WNI dan ada yang WNA,” jelas Yusril.
Dalam praktiknya, memang banyak terpidana mati, termasuk warga asing yang belum dieksekusi karena berbagai pertimbangan, termasuk hukum, diplomasi, dan hak asasi manusia.
Dengan kuasa penuh di tangan Presiden dan Kejaksaan Agung soal eksekusi, artinya keputusan akhir bukan hanya soal seberapa besar kerugian negara, tapi juga soal kebijaksanaan dalam memimpin negara.
KUHP baru 2026 bikin aturan Hukuman Mati makin ketat dan berlapis
Yusril juga mengingatkan kalau Indonesia sedang dalam masa transisi hukum besar-besaran menuju KUHP Nasional yang akan berlaku mulai awal 2026.
Di aturan baru nanti, nggak ada lagi vonis mati yang langsung dieksekusi.
Semua harus melewati masa peninjauan selama 10 tahun lebih dulu.
"Terpidana mati lebih dahulu harus ditempatkan dalam tahanan selama 10 tahun untuk dievaluasi apakah yang bersangkutan benar-benar sudah taubatan nasuha dalam arti amat menyesali perbuatannya atau tidak," kata Yusril.
Jika setelah 10 tahun terbukti benar-benar tobat, hukumannya bisa dikonversi menjadi penjara seumur hidup.
"Itu garis besarnya. Pelaksanaan Hukuman Mati dalam KUHP Nasional pelaksanaannya harus diatur dengan undang-undang tersendiri. Pemerintah kini sedang mempersiapkannya,” tutur dia.
Aturan baru ini berlaku untuk semua, tanpa membedakan WNI atau WNA.
Semuanya dinilai dari proses hukum dan evaluasi yang berlaku adil.
Tidak ada standar ganda antara WNI dan WNA dalam kasus Hukuman Mati
Banyak yang mengira ada perbedaan perlakuan antara narapidana mati WNI dan WNA.
Tetapi Yusril membantah anggapan itu.
“Sama sekali tidak. Napi WNA itu dipindahkan ke negaranya untuk dipertimbangkan oleh pemerintahnya apakah akan dieksekusi mati atau tidak. Di dalam negeri, sikap Presiden Prabowo sangat jelas. Sampai hari ini di masa pemerintahan Presiden Prabowo tidak ada seorang pun terpidana mati yang dieksekusi oleh regu tembak, baik WNI maupun WNA," kata Yusril.
Pemerintah juga sedang mengkaji ulang nasib mereka yang sudah dijatuhi Hukuman Mati di era KUHP lama.
Kalau ada perubahan hukum, maka aturan yang paling menguntungkan terpidana yang akan diberlakukan.
“Sebagai pemerintah, kami juga harus memikirkan bagaimana nasib terpidana mati berdasarkan KUHP Belanda yang sekarang sudah inkracht dengan berlakunya KUHP Nasional tahun depan. Kalau ada perubahan hukum, maka ketentuan yang paling menguntungkan seseoranglah yang diberlakukan. Saya kira RUU Pelaksanaan Hukuman Mati nanti akan mengatur hal itu dengan jelas agar ada kepastian hukum,” ujarnya.
Prabowo pilih pendekatan kemanusiaan daripada penghukuman ekstrem
Yusril juga menyoroti alasan mendalam di balik sikap Prabowo yang menolak eksekusi mati terhadap koruptor.
Ini bukan soal membela, tapi lebih ke cara pandang sebagai seorang pemimpin bangsa.
“Itulah maksud Presiden Prabowo, sebagai Presiden beliau tidak ingin melaksanakan Hukuman Mati terhadap napi mana saja dan kasus apa saja. Sebab jika seseorang sudah dieksekusi mati, tidak ada lagi kesempatan kita menghidupkan kembali orang tersebut, walaupun hakim sudah menyatakan 99,9 persen orang itu terbukti bersalah," kata Yusril.
"Tetapi tetap tersisa 0,1 persen kemungkinan dia tidak bersalah. Itu maksud Presiden Prabowo. Presiden berbicara bukan sebagai seorang hakim, tetapi sebagai seorang negarawan, sebagai bapak bangsa yang berjiwa besar dan mengedepankan sisi kemanusiaan daripada sisi lainnya,” tutup Yusril.