NOTIS.CO.ID - Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang diinisiasi Badan Gizi Nasional (BGN) sedang jadi sorotan besar karena rentetan masalah yang bermunculan.
Mulai dari dugaan korupsi, salah kelola anggaran, sampai insiden keracunan massal membuat kepercayaan publik terhadap program ini anjlok.
Program mulia yang awalnya bertujuan mengurangi angka malnutrisi malah terseret banyak skandal, memunculkan pertanyaan apakah sebaiknya MBG dihentikan demi mencegah kerusakan lebih parah.
Dugaan penyimpangan anggaran program MBG jadi perhatian publik
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Dewi Anggraeni, membeberkan masalah besar yang melilit program MBG.
Kasus pertama yang bikin heboh adalah dugaan penyelewengan dana di dapur MBG Kalibata, Jakarta Selatan, sampai membuat mitra dapur terpaksa gulung tikar dengan kerugian hampir Rp1 miliar karena tidak mendapat penggantian biaya dari Yayasan MBN.
Situasi ini memperlihatkan betapa amburadulnya pengelolaan keuangan dalam pelaksanaan program ini.
Lebih parahnya lagi, penyaluran anggaran MBG justru dilakukan lewat skema bantuan pemerintah yang dinilai melanggar Peraturan Menteri Keuangan (Permenkeu) Nomor 132/PMK.05/2021.
Berdasarkan aturan tersebut, seharusnya bantuan disalurkan langsung ke rekening masyarakat penerima manfaat, bukan ke mitra.
"Penyaluran anggaran lewat skema bantuan juga membuka celah praktik korupsi," kata Dewi.
Aturan Permenkeu bahkan memperjelas dalam Pasal 24 dan Pasal 25 ayat (3) bahwa pemberian dalam bentuk uang harus langsung masuk ke rekening penerima.
Namun, yang terjadi di lapangan justru bertolak belakang, membuka pintu selebar-lebarnya untuk praktik nakal yang merugikan negara.
Kasus keracunan massal jadi bukti kualitas makanan MBG bermasalah
Tak berhenti di soal uang, MBG juga dihantam masalah kualitas makanan yang disediakan. Dewi Anggraeni menyebutkan kasus keracunan massal yang menimpa ratusan siswa di berbagai daerah menjadi alarm serius.
"Setidaknya 200 siswa menjadi korban keracunan usai menyantap menu program MBG," ujarnya.
Contoh paling nyata bisa dilihat di Sukoharjo, Jawa Tengah, di mana 40 siswa SDN 3 Dukuh keracunan setelah makan dari program MBG.
Lalu disusul 29 siswa SD Katolik Andaluri, Waingapu, Sumba Timur, dan 40 siswa SDN Alaswangi 2, Pandeglang, Jawa Barat.
Bahkan ada kasus lebih besar dengan 60 siswa SDN Proyonanggan 5, Batang, Jawa Tengah, dan 78 siswa MAN 1 serta SMP PGRI 1 Cianjur, Jawa Barat, yang mengalami mual hingga sakit perut hebat.
Tidak hanya itu, ditemukan telur rebus tak layak konsumsi, ompreng plastik tipis yang berbahaya saat terkena makanan panas, dan standar makanan yang asal-asalan.
Ini jelas membahayakan kesehatan anak-anak, yang seharusnya justru dilindungi melalui program ini.
Ketimpangan layanan dan kualitas MBG memperkuat tuntutan penghentian
ICW juga menyoroti ketimpangan kualitas layanan program MBG antara satu sekolah dengan sekolah lainnya.
"Hal ini menunjukan tidak adanya standarisasi layanan dalam pelaksanaan MBG. Mengacu pada hal-hal di atas, Presiden Prabowo harus menunjukkan tanggung jawabnya dengan menghentikan proyek MBG," tegas Dewi Anggraeni.
Dalam satu sekolah, anak-anak makan dengan peralatan berkualitas rendah yang berbahaya, sementara di sekolah lain mungkin lebih baik.
Ketidakadilan seperti ini memperlihatkan bagaimana buruknya pengelolaan program nasional yang seharusnya bersifat universal dan standar.
Lebih dari sekadar masalah teknis, ketimpangan ini menunjukkan ada sesuatu yang salah dalam pengelolaan MBG.
Kalau tidak segera diperbaiki atau bahkan dihentikan sementara, dikhawatirkan program ini malah memperburuk masalah kesehatan anak-anak yang seharusnya dilindungi.