NOTIS.CO.ID - Pemerintah Jerman tengah menggulirkan rencana kontroversial yang mengundang pro dan kontra: menghapus salah satu Hari Libur nasional.
Langkah ini dipertimbangkan demi meningkatkan produktivitas ekonomi dan mengejar ketertinggalan jam kerja dibandingkan negara maju lain.
Isu ini mencuat seiring kekhawatiran bahwa durasi kerja tahunan rata-rata Pekerja Jerman tergolong paling rendah di antara negara-negara ekonomi besar dunia.
Jam kerja rendah dorong wacana reformasi Hari Libur nasional
Berdasarkan laporan dari The Economics yang dirilis Rabu (11/6/2025), data Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) menyebutkan bahwa rata-rata pekerja di Jerman hanya mencatat 1.343 jam kerja selama 2023.
Angka ini menempatkan Jerman di posisi terbawah dalam kelompok negara-negara dengan ekonomi besar.
Sebagai perbandingan, pekerja di Amerika Serikat bekerja sekitar 1.705 jam per tahun, sementara Yunani bahkan lebih tinggi lagi dengan 1.897 jam.
Perbedaan signifikan ini menyoroti potensi ruang perbaikan Produktivitas kerja di Jerman. Di tengah kebutuhan investasi besar, para pakar ekonomi pun mulai mendorong solusi yang tidak biasa.
Potensi dampak ekonomi dari penghapusan Hari Libur
Kepala Institut Ifo di Munich, Clemens Fuest, menyatakan bahwa kebijakan penghapusan satu hari libur nasional bisa menghasilkan dampak ekonomi yang cukup signifikan. Penghapusan satu hari libur bisa menaikkan Produk Domestik Bruto (PDB) Jerman hingga €8 miliar (sekitar Rp140 triliun) per tahun.
Jerman saat ini memiliki sembilan Hari Libur nasional yang berlaku secara merata di seluruh wilayah, di luar hari libur tambahan yang ditetapkan masing-masing negara bagian.
Di beberapa wilayah seperti Bavaria, jumlah Hari Libur bahkan mencapai 13 hari dalam setahun. Ketimpangan ini menciptakan hambatan tersendiri dalam sinkronisasi aktivitas bisnis, termasuk gangguan dalam distribusi logistik antarwilayah.
Ketimpangan Hari Libur antarnegara bagian ganggu kelancaran ekonomi
Negara bagian seperti Thuringia menetapkan "Hari Anak Sedunia", sementara Saxony memiliki "Hari Doa dan Peringatan" sebagai hari libur resmi. Variasi ini menimbulkan ketidakseragaman yang berpengaruh langsung pada kelancaran aktivitas ekonomi lintas wilayah.
Saat satu daerah libur, pengiriman barang atau layanan lainnya bisa terhambat, yang pada akhirnya memperlambat alur bisnis nasional.
Hal ini menjadi salah satu alasan mengapa para pelaku usaha menyambut positif wacana pengurangan Hari Libur. Beberapa bahkan menyarankan agar lebih dari satu hari libur dihapus demi menciptakan iklim usaha yang lebih efisien dan sinkron di seluruh Jerman.
Serikat buruh menolak keras rencana pemerintah
Namun, tidak semua pihak sepakat dengan ide tersebut. Serikat buruh Jerman menentang keras rencana ini karena khawatir penghapusan Hari Libur akan mengorbankan keseimbangan hidup pekerja.
Bagi kelompok buruh, Hari Libur adalah hak yang penting untuk menjaga kesehatan mental dan kualitas hidup tenaga kerja.
Meski demikian, pengalaman negara lain menjadi bahan pertimbangan tersendiri. Denmark pada 2023 telah menghapus "Hari Doa Besar", sebuah Hari Libur keagamaan penting, untuk mendanai peningkatan anggaran militer.
Meski awalnya memicu protes besar dari publik, kebijakan itu tetap diberlakukan. Banyak yang melihat langkah tersebut sebagai cermin dari kebijakan berani yang mungkin juga perlu diterapkan Jerman jika ingin melakukan transformasi mendalam pada budaya kerjanya.