Penelitian Ungkap Tanda Kiamat, Gletser Dunia Tak Akan Pulih Lagi

Gletser dunia diprediksi tak akan pulih selama berabad-abad meski suhu Bumi kembali ke batas aman.
Trinita Adelia - Kamis, 22 Mei 2025 - 16:00 WIB
Penelitian Ungkap Tanda Kiamat, Gletser Dunia Tak Akan Pulih Lagi
Ilustrasi bumi hancur - freepik @kjpargeter
Advertisements

NOTIS.CO.ID - Meskipun ada harapan bahwa Pemanasan Global bisa dikendalikan, sebuah penelitian ungkap tanda kiamat dalam bentuk mencairnya gletser di seluruh dunia menunjukkan fakta yang mengejutkan.

Bahkan jika suhu Bumi berhasil dikembalikan ke batas aman, gletser-gletser yang sudah menyusut kemungkinan besar tidak akan pulih selama berabad-abad. 

Penelitian ini membawa sorotan serius karena mengungkap kabar buruk bagi masa depan Bumi, terutama soal Perubahan Iklim yang tak lagi bisa dianggap ringan.

Gletser tidak hanya menyimpan cadangan air es, tetapi juga menjadi indikator penting dari kesehatan iklim global. Ketika mereka mencair, dampaknya tidak berhenti di gunung, tapi menjalar sampai ke laut dan kehidupan manusia sehari-hari.

Penelitian terbaru mengungkap kabar buruk bagi masa depan Bumi

Simulasi global pertama prediksi nasib Gletser dunia

Studi yang dipimpin Universitas Bristol dan Universitas Innsbruck ini menggunakan simulasi global pertama untuk memproyeksikan perubahan gletser hingga tahun 2500.

Para peneliti menganalisis bagaimana Gletser akan bereaksi terhadap skenario suhu ekstrem, terutama saat suhu Bumi melebihi ambang batas 1,5 derajat Celsius.

Penelitian yang dipublikasikan di jurnal Nature Climate Change mengggunakan skenario 'overshoot', suhu sempat naik ke tingkat 3 derajat Celsius sebelum turun kembali.

Hasilnya Gletser kehilangan hingga 16% lebih banyak massa dibandingkan dengan kondisi ideal di mana suhu tidak pernah melewati 1,5 derajat.

Ini berarti kehilangan massa es yang lebih besar akan mendorong kenaikan permukaan laut dan memperparah krisis air di wilayah pegunungan.

Dampak tak terhindarkan walau suhu berhasil distabilkan

Yang paling mengkhawatirkan dari temuan ini adalah bahwa bahkan jika dunia berhasil menjaga suhu rata-rata tetap di 1,5 derajat Celsius, sekitar 35% dari total massa Gletser global sudah dipastikan akan menghilang.

Dalam kondisi overshoot, kerugian ini meningkat drastis: mencapai tambahan 16% pada tahun 2200 dan 11% lebih banyak lagi hingga 2500.

Kondisi ini menunjukkan bahwa waktu adalah musuh utama. Semakin lama kita menunda aksi, semakin besar kerusakan yang akan diwariskan ke generasi mendatang.

“Pertanyaan yang sering ditanyakan banyak orang adalah apakah Gletser bisa tumbuh kembali? Temuan kami menunjukkan bahwa jawabannya adalah tidak,” ungkap Dr. Fabien Maussion dari Universitas Bristol, dikutip dari ScienceDaily, Kamis (22/5/2025).

Gletser pegunungan tak menunjukkan tanda pulih dalam beberapa generasi

Alpen, Himalaya, dan Andes diambang kepunahan es

Gletser di kawasan seperti Pegunungan Alpen, Himalaya, dan Andes Tropis akan mengalami dampak paling ekstrem. Dalam banyak kasus, harapan untuk pemulihan gletser di daerah ini sangat kecil, bahkan dalam rentang waktu beberapa generasi.

Meski secara teoritis ada kemungkinan pemulihan pada tahun 2500, sebagian besar Gletser akan tetap dalam kondisi kritis dalam ratusan tahun ke depan.

Lilian Schuster dari Universitas Innsbruck menjelaskan bahwa tren pelelehan es ini sangat sulit dibalik, terutama karena sebagian besar Gletser sudah kehilangan struktur dasarnya akibat pemanasan jangka panjang.

Artinya, bahkan penurunan suhu global tidak bisa langsung memulihkan apa yang sudah rusak.

Krisis air bersih semakin mengancam kehidupan sehari-hari

Lebih dari sekadar dampak visual atau geografis, mencairnya Gletser memberikan efek nyata pada ketersediaan air bersih. Di banyak daerah, air dari gletser menjadi sumber utama saat musim kering.

Namun setelah mencapai titik 'peak water', fenomena kebalikannya akan terjadi, yaitu 'trough water' kondisi di mana aliran air berkurang drastis karena cadangan es yang terus menyusut.

Kondisi ini akan berdampak pada sistem pertanian, pembangkit listrik tenaga air, hingga kebutuhan domestik di daerah dataran tinggi.

Lilian menambahkan, “Semakin lama kita menunda pengurangan emisi, semakin kita membebani generasi mendatang dengan perubahan yang tidak dapat diubah.”

Advertisements
Share:
Editor: Trinita Adelia
Source:

Baca Juga

Rekomendasi

Advertisements