NOTIS.CO.ID - Labubu, si boneka monster lucu yang digandrungi dari anak muda sampai orang dewasa, kini harus berhadapan dengan tantangan serius berupa Tarif Impor dari Amerika Serikat.
Meski sedang jadi primadona di pasar global, Pop Mart perusahaan di balik kesuksesan Labubu terpaksa ikut terseret dalam pusaran perang dagang AS–China yang bikin situasi makin rumit untuk produk impor, terutama yang datang dari Tiongkok.
Boneka mungil berwajah unik ini enggak cuma booming di negara asalnya, tapi juga sukses besar di berbagai negara lain, termasuk Amerika Serikat.
Bahkan, Labubu jadi penyumbang utama pendapatan Pop Mart, yang sepanjang tahun 2024 berhasil mencetak 13,04 miliar yuan atau setara Rp 29,8 triliun, dan dari angka itu, sekitar 3 miliar yuan alias Rp 6,8 triliun datang dari penjualan Labubu saja.
Di luar China, pendapatan perusahaan ini mencapai 5,07 miliar yuan atau Rp 11,5 triliun angka yang mencerminkan lonjakan fantastis sebesar 375,2%. Bahkan di pasar AS, Citigroup memprediksi pertumbuhan Pop Mart bisa tembus sampai 900%.
Penjualan Labubu makin meroket berkat strategi dan karakter uniknya
Pop Mart enggak cuma mengandalkan Labubu, karena mereka juga punya sederet karakter menggemaskan lain seperti Baby Molly, Crybaby, Dimoo, dan Pucky.
Salah satu kunci sukses Pop Mart adalah strategi penjualan lewat mystery box, yang bikin orang merasakan sensasi membuka hadiah acak seperti berjudi tapi tanpa rasa bersalah.
“Hal itu membuat keinginan mengoleksi barang dan terus membelinya,” kata profesor bahasa Inggris Princeton University, Anne Cheng, dikutip dari CNN Internasional, Sabtu (17/5/2025).
Karakter Labubu yang punya berbagai tema warna, termasuk versi tie-dye dan pastel, jadi incaran utama kolektor.
Efek FOMO juga ikut berperan besar. Banyak orang beli karena takut ketinggalan tren atau karena pengen pamer koleksi lengkap.
Tarif Impor AS dan efeknya terhadap penjualan Labubu di pasar global
Sayangnya, di tengah popularitas yang sedang memuncak, Labubu harus menghadapi ujian besar dari sisi kebijakan perdagangan.
Pemerintah AS di bawah presiden Donald Trump memutuskan untuk menerapkan Tarif Impor tinggi sebagai bagian dari perang dagang dengan China.
Pop Mart, sebagai perusahaan asal China, tentu langsung kena imbas.
China dan Amerika Serikat sebelumnya saling menimpakan tarif 145% dan 125%. Namun belakangan kedua negara melakukan semacam “gencatan senjata”, dan sepakat menurunkan beban tarif masing-masing jadi 30% untuk China dan 10% bagi AS.
Tapi walaupun ada pengurangan, tetap saja situasinya masih jauh dari nyaman buat para pelaku bisnis ekspor-impor.
Menariknya, Pop Mart mengambil langkah berani dengan menyatakan bahwa mereka akan menanggung sendiri beban tarif tersebut. Dalam halaman FAQ resmi mereka tertulis jelas “Pelanggan tidak akan diminta untuk membayar biaya bea cukai tambahan,” .
Tapi kenyataan di lapangan menunjukkan sedikit gesekan. CNN Internasional mencatat bahwa harga Labubu edisi tie-dye pastel naik dari US$21,99 menjadi US$27,99, alias ada selisih sekitar US$6.
Perang dagang AS dan China bikin nasib industri mainan makin tidak pasti
Tarif Impor bukan cuma urusan angka, tapi juga bisa berdampak besar terhadap kelangsungan industri mainan dan koleksi global.
Buat kolektor, situasi ini bisa jadi dilema. Di satu sisi ingin terus menambah koleksi, tapi di sisi lain harga yang terus naik bisa bikin berpikir ulang.
Apalagi jika ada ketidakpastian apakah harga di masa depan akan stabil atau malah makin melonjak.
Pop Mart kini berada di posisi sulit. Di satu sisi ingin tetap mempertahankan pangsa pasar global yang makin luas, tapi di sisi lain harus pintar-pintar menyiasati tarif tanpa bikin pelanggan kabur.
Bisa jadi mereka mulai mempertimbangkan produksi di luar China atau menjalin kemitraan lokal di negara tujuan agar beban tarif bisa ditekan.