NOTIS.CO.ID - Pelan namun pasti, dominasi Dolar AS kian pudar di tengah perubahan arus ekonomi global.
Semakin banyak negara berani keluar dari bayang-bayang mata uang negeri Paman Sam, dan Tiongkok kini berada di garis depan.
Pergerakan strategis yang dilakukan Beijing memicu lahirnya kekuatan ekonomi baru yang bisa menggeser posisi Amerika Serikat dalam tatanan dunia.
Dikutip dari akun X @wmhuo168, milik William Huo selaku Kepala Perwakilan Intel Pertama di Beijing, disebutkan bahwa dunia sedang berada di persimpangan ekonomi.
Ia memprediksi, gelombang besar perubahan ini dapat melahirkan susunan dunia baru yang meruntuhkan dominasi AS. Ketika Tiongkok menghentikan pembelian surat utang AS, guncangan terhadap dolar pun tak terelakkan.
"Ini bukan sekadar pergeseran ekonomi. Ini adalah akhir dari tatanan dunia baru," tulis Huo, dikutip Rabu (23/7/2025).
Tiongkok berhenti membeli surat utang AS
Selama bertahun-tahun, surplus neraca perdagangan Tiongkok dialirkan untuk memborong surat utang Amerika.
Kini, situasinya berbeda. Beijing tidak lagi tertarik mengumpulkan kertas janji dari ekonomi yang kian merosot.
Negeri Panda ini beralih ke aset nyata yang memiliki nilai intrinsik dan kekuatan jangka panjang. Setiap strategi disusun agar tidak lagi terjebak pada sistem lama yang mudah dipolitisasi.
Di saat Washington terus mencari pembeli obligasi, Tiongkok justru memutar haluan. Mereka berhenti menjadi pemasok modal murah dan mulai merajut kedaulatan ekonomi baru yang lebih mandiri.
Aset riil menjadi prioritas utama
Langkah pertama yang dilakukan Tiongkok adalah belanja aset riil. Mereka berfokus menimbun komoditas strategis seperti tembaga, lithium, kobalt, minyak, dan kedelai.
Aset semacam ini memang tidak memberi imbal hasil cepat, tetapi memiliki ketahanan yang tidak bisa diambil begitu saja.
Tidak dapat dibekukan, didevaluasi, atau terkena sanksi sepihak, aset ini adalah bentuk nyata dari kekuatan yang bisa diandalkan.
Dengan strategi tersebut, Tiongkok tidak lagi bergantung pada janji finansial negara lain. Mereka mengubah surplus menjadi sesuatu yang benar-benar bisa dipegang, sesuatu yang tak bisa diutak-atik oleh tekanan politik atau kebijakan sepihak dari negara lain.
Diplomasi infrastruktur sebagai senjata baru
Strategi berikutnya adalah pengembangan diplomasi infrastruktur. Tiongkok membangun sabuk jalan, jembatan, pelabuhan, dan jaringan listrik bukan sekadar untuk amal.
Proyek-proyek tersebut ditukar dengan akses komoditas dan pengaruh politik di berbagai kawasan.
Pendekatan ini bukan sekadar Investasi, melainkan cara memperluas cengkeraman ekonomi. Jaringan infrastruktur yang dibangun di negara-negara mitra memberi Beijing posisi tawar yang jauh lebih kuat.
Jalur perdagangan baru pun bermunculan, menciptakan arus barang dan modal yang tidak lagi sepenuhnya tergantung pada sistem lama.
Hal ini membuat Dolar AS semakin kehilangan peran sebagai pusat perputaran global.
Kepemilikan langsung atas aset strategis
Tiongkok juga mengalirkan modal ke sektor-sektor riil dengan membeli tambang, pelabuhan, kereta api, hingga lahan pertanian dari Argentina sampai Kazakhstan.
Setiap Investasi ditempatkan dengan perhitungan matang agar memberi nilai tambah jangka panjang. Bukan sekadar keuntungan finansial, melainkan juga kendali strategis terhadap sumber-sumber energi dan pangan.
Langkah ini pula yang memberi Tiongkok reputasi sebagai pemain global yang lebih luwes. Mereka tak segan masuk ke sektor mana pun selama bisa memperkuat posisi ekonominya.
Pertukaran mata uang yang memperlemah dolar
Di sisi lain, Tiongkok terus mendorong penggunaan Renminbi dalam perdagangan internasional. Perdagangan dengan Rusia, Iran, Pakistan, hingga Brasil kini banyak yang dilakukan tanpa melalui Dolar AS.
Tidak perlu dominasi global penuh, cukup dengan membangun kepercayaan bilateral yang kuat untuk melemahkan posisi dolar di koridor-koridor utama.
Setiap kesepakatan Mata Uang lokal membuat ketergantungan pada dolar semakin berkurang. Bukan lagi hanya ada satu mata uang yang bisa menjadi tulang punggung perdagangan global.
Dominasi dolar pun mulai goyah karena kehadiran alternatif yang semakin diperhitungkan.
Investasi internal yang mengubah peta ekonomi
Surplus yang selama ini ditimbun kini digunakan untuk investasi dalam negeri. Tiongkok gencar membangun industri chip, energi hijau, kereta api cepat, dan rantai pasokan kendaraan listrik.
Fokusnya bukan hanya pada keuntungan jangka pendek, melainkan juga pada keunggulan strategis di masa depan.
Strategi ini membuat Tiongkok tidak hanya sebagai peserta dalam Ekonomi Global, tetapi juga sebagai arsitek yang aktif membentuknya. Peran tersebut jauh lebih berpengaruh dibanding sekadar menjadi penyandang dana pasif.
Saat ini, Amerika Serikat masih mengandalkan negara lain untuk membeli surat utangnya yang bernilai triliunan setiap tahun.
Namun situasi makin rumit. Jepang menghadapi penuaan populasi, Eropa dililit krisis, dan Tiongkok sudah tidak lagi mau ikut menopang.
Suku bunga naik, inflasi pun ikut meningkat. Bank sentral AS terpaksa terus mencetak uang dalam jumlah besar, sementara pesta lama sudah berakhir. Tiongkok pun sudah meninggalkan arena permainan itu.
"Permainan barunya adalah kendali sumber daya. Dominasi infrastruktur, kedaulatan energi bukan spreedsheet. Dan, Tiongkok tidak bermain untuk memenangkan permainan lama. Namun untuk menguburnya," pungkas Huo.