NOTIS.CO.ID - Rupiah sempat dibuka menguat tipis ke level Rp16.590 per Dolar AS pada Kamis (27/3/2025), namun tidak bertahan lama dan kembali melemah di sesi siang ke Rp16.640 per dolar AS.
Upaya stabilisasi dilakukan oleh Bank Indonesia dengan menggelontorkan dana intervensi sebesar US$1,6 miliar dalam tiga hari terakhir.
Namun, efektivitas langkah ini masih menjadi perdebatan di kalangan ekonom.
Ekonom sekaligus pakar kebijakan publik dari UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, menilai strategi intervensi ini kurang efektif.
"Data ini mengonfirmasi pola boros BI yakni setiap US$1 miliar yang dihabiskan untuk intervensi langsung, hanya mampu menguatkan Rupiah maksimal 0,5 persen dan efeknya lenyap dalam 1-2 hari," ungkapnya.
Sejak awal 2025, BI telah menggunakan cadangan devisa sebesar US$4,5 miliar atau sekitar 3 persen dari total cadev yang tersedia.
Namun, rupiah tetap mengalami depresiasi sebesar 8 persen terhadap Dolar AS.
Sementara itu, Bank Sentral Malaysia (BNM) hanya menghabiskan US$600 juta untuk intervensi, tetapi berhasil menjaga ringgit di level RM4,45 per Dolar AS dengan depresiasi hanya 5 persen year on year.
Strategi Bank Sentral Malaysia dalam menekan depresiasi mata uang
Dibandingkan Bank Indonesia yang menggunakan intervensi langsung di pasar spot, BNM menerapkan strategi yang berbeda.
Sebanyak 70 persen intervensi BNM dilakukan melalui foreign exchange swaps dan forward contracts.
Pendekatan ini memungkinkan stabilisasi mata uang tanpa menguras cadangan devisa secara langsung, berbeda dengan strategi BI yang masih bergantung pada spot market dan non-deliverable forward (NDF).
Strategi derivatif ini memungkinkan BNM menekan spekulasi terhadap mata uangnya tanpa harus terus mengeluarkan cadangan devisa dalam jumlah besar.
Sementara BI, dengan pendekatan intervensi konvensional, menghadapi tantangan besar dalam menjaga stabilitas Rupiah dalam jangka panjang.
Syarat agar rupiah bisa kembali menguat ke Rp16.000 per Dolar AS
Untuk mengembalikan rupiah ke level Rp16.000 per dolar AS pada akhir 2025, Achmad Nur Hidayat menyebut ada beberapa langkah yang perlu dilakukan oleh BI.
Pertama, BI harus menghentikan penerbitan instrumen keuangan seperti SRBI dan SVBI, serta mengalihkan dana senilai Rp40 triliun untuk membeli Dolar AS di pasar derivatif.
Selain itu, kebijakan moneter Amerika Serikat juga berpengaruh terhadap stabilitas Rupiah. The Fed telah memberikan sinyal pemangkasan suku bunga pada September 2025, yang jika terealisasi, dapat memberikan dorongan positif bagi rupiah.
Selain itu, kenaikan harga komoditas seperti nikel dan batu bara sebesar 20 persen juga dapat berkontribusi terhadap pemulihan ekonomi nasional.
Tanpa adanya langkah konkret dalam mengubah strategi intervensi, rupiah berisiko tetap berada di atas Rp16.500 per Dolar AS, sementara kebijakan SRBI dan SVBI bisa menjadi beban tambahan bagi ekonomi Indonesia.