Anak Muda Rentan Terkena Brain Rot Gara-Gara TikTok, Benarkah?

Brain rot jadi ancaman nyata bagi generasi muda karena pola konsumsi konten digital yang tidak terkendali dan bersifat adiktif.
Trinita Adelia - Rabu, 02 Jul 2025 - 15:12 WIB
Anak Muda Rentan Terkena Brain Rot Gara-Gara TikTok, Benarkah?
Ilustrasi - freepik @tirachard
Advertisements

NOTIS.CO.ID - Fenomena brain rot kembali menjadi perbincangan hangat, terutama di kalangan pengguna Media Sosial. Istilah ini merujuk pada kondisi menurunnya daya pikir akibat konsumsi konten digital secara terus-menerus tanpa jeda.

Meski banyak yang menuding platform seperti TikTok sebagai penyebab utama, para akademisi justru menekankan bahwa masalah utamanya terletak pada cara kita mengonsumsi konten, bukan pada kontennya itu sendiri.

Artikel ini akan membahas lebih dalam mengenai apa itu Brain Rot, apa dampaknya terhadap kesehatan mental dan kognitif, serta bagaimana menghindarinya di era digital saat ini.

Penyebab Brain Rot Pada Anak Muda Menurut Perspektif Akademisi

Melansir dari inilah.com, pandangan Rissalwan Habdy Lubis, pengamat sosial dari Universitas Indonesia, istilah brain rot seharusnya tidak serta-merta ditujukan kepada platform Media Sosial tertentu.

Masalah utama justru muncul dari kebiasaan pengguna yang tidak mampu mengontrol waktu dan cara mengakses Konten Digital.

“Sebetulnya yang salah bukan kontennya, tapi pola kita mengonsumsi konten itu,” ungkap Rissalwan.

Ia menjelaskan bahwa video pendek atau konten ringan sejatinya bukan hal yang buruk. Namun, ketika dikonsumsi secara berlebihan, otak akan terbiasa dengan pola pikir yang instan dan tidak terlatih untuk fokus dalam jangka waktu panjang.

Menurutnya, ini bukan sekadar tentang konten, tetapi tentang relasi antara supply dan demand. Masyarakat sebagai pengguna cenderung terus mencari hiburan yang instan, sementara algoritma platform pun menyuplai konten serupa secara berulang.

Ketergantungan Digital Bisa Menurunkan Kemampuan Berpikir Jangka Panjang

Brain Rot bukan sekadar istilah viral. Oxford University Press bahkan menobatkannya sebagai Word of the Year 2024 karena relevansinya yang tinggi di tengah ledakan konten digital saat ini.

Rissalwan menyampaikan bahwa algoritma Media Sosial secara tidak langsung membentuk kebiasaan konsumsi yang adiktif.

“Konten-konten yang dikatakan Brain Rot itu sebetulnya tidak ditujukan untuk itu. Tapi sekali lagi, algoritmanya membuat konsumennya tergantung,” ujarnya.

Ia mengibaratkan fenomena ini seperti pola makan, sesuatu yang netral seperti nasi atau air bisa membahayakan jika dikonsumsi dalam jumlah berlebihan. 

“Kalau makan dua bakul beras atau minum dua galon air kan juga bisa bikin mual dan membahayakan tubuh. Begitu juga otak saat terpapar konten terus-menerus tanpa jeda,” jelasnya.

Akibat dari konsumsi semacam ini bisa mengganggu kemampuan berpikir kritis, memperpendek rentang atensi, dan membuat seseorang sulit menyusun ide secara mendalam. Hal ini tentu memengaruhi produktivitas, kreativitas, bahkan kesehatan mental secara keseluruhan.

Risiko Paparan Gadget Sejak Dini Terhadap Perkembangan Kognitif Anak

Fenomena Brain Rot tidak hanya berdampak pada remaja dan dewasa muda. Menurut Rissalwan, anak-anak juga berisiko tinggi jika sejak usia dini sudah terbiasa dengan gawai dan konten visual yang sifatnya menghibur.

Ia memperingatkan bahwa kebiasaan tersebut bisa menghambat perkembangan otak yang seharusnya diasah lewat interaksi nyata dan stimulasi kognitif alami.

“Untuk anak-anak, sebaiknya jangan dialihkan dengan teknologi. Itu berbahaya. Membuat otak tergantung pada hiburan, bukan pengetahuan,” katanya.

Anak-anak yang terlalu cepat dikenalkan dengan layar cenderung mengalami kesulitan dalam membangun konsentrasi jangka panjang, serta mengalami penurunan kemampuan berpikir imajinatif dan reflektif.

Hal ini bisa berdampak hingga ke usia dewasa jika tidak ditangani secara serius sejak awal.

Cara Menghindari Brain Rot Tanpa Harus Menjauhi Media Sosial

Menariknya, Rissalwan tidak menyarankan untuk menghindari media sosial sepenuhnya. Ia justru mendorong masyarakat untuk bijak dalam memanfaatkan teknologi.

Menurutnya, Media Sosial bisa sangat bermanfaat jika digunakan dalam batas yang sehat dan dengan tujuan yang produktif.

“Saya juga pakai Media Sosial untuk cari ide. Banyak hal kreatif bisa kita ambil. Tapi jangan berjam-jam nonton terus. Cukup lima menit, maksimal sepuluh menit,” tuturnya.

Kunci dari menghindari Brain Rot bukanlah dengan mematikan akses terhadap konten, melainkan dengan melatih diri agar tidak menjadi budak algoritma. 

Di akhir pernyataannya, Rissalwan kembali menekankan bahaya siklus adiktif akibat konsumsi digital yang tidak terkendali. 

“Kalau dibiarkan, lama-lama kita bisa terlena dan akhirnya mengalami Brain Rot pembusukan otak akibat ketergantungan digital,” pungkasnya.

Advertisements
Share:
Editor: Trinita Adelia
Source:

Baca Juga

Rekomendasi

Advertisements