Trump Resmi Larang Warga 12 Negara Masuk AS, Ini Alasan dan Dampaknya

Trump kembali berlakukan travel ban untuk 20 negara, picu kecaman internasional dan kekacauan bagi pencari suaka.
Trinita Adelia - Selasa, 10 Jun 2025 - 14:30 WIB
Trump Resmi Larang Warga 12 Negara Masuk AS, Ini Alasan dan Dampaknya
Donald Trump - Instagram @realdonaldtrump
Advertisements

NOTIS.CO.ID - Pemerintahan Presiden AS Donald Trump kembali memperketat kebijakan imigrasi dengan memberlakukan larangan perjalanan terbaru yang mulai berlaku sejak dini hari Senin, 9 Juni 2025.

Aturan ini secara langsung memblokir warga dari lebih dari belasan negara untuk memasuki wilayah Amerika Serikat. Langkah ini memicu sorotan luas karena dianggap akan berdampak besar terhadap jalur pengungsi dan kebebasan mobilitas warga asing yang rentan.

Kebijakan ini disebut sebagai perluasan dari langkah keras Trump dalam menangani imigrasi ilegal, dengan menyasar negara-negara yang dinilai berisiko tinggi atau tak mampu menjamin keamanan administratif bagi warganya.

Beberapa negara yang masuk dalam daftar, seperti Iran dan Afghanistan, diketahui memiliki hubungan yang menegang dengan AS.

Sementara itu, negara-negara seperti Libya dan Haiti tengah menghadapi krisis multidimensi yang memperburuk posisi warganya di mata kebijakan baru tersebut.

Negara-Negara yang Terdampak Larangan Perjalanan Trump

Dalam pengumuman resmi Gedung Putih, larangan ini mencakup warga negara dari Afghanistan, Myanmar, Chad, Kongo-Brazzaville, Guinea Ekuatorial, Eritrea, Haiti, Iran, Libya, Somalia, Sudan, dan Yaman.

Sementara itu, pembatasan sebagian diberlakukan terhadap warga dari Burundi, Kuba, Laos, Sierra Leone, Togo, Turkmenistan, dan Venezuela.

Beberapa visa kerja sementara tetap diperbolehkan, namun untuk mayoritas kategori perjalanan lainnya, akses akan sepenuhnya ditolak. Presiden Trump juga menambahkan bahwa daftar negara ini bersifat dinamis.

"Seiring munculnya ancaman di seluruh dunia," ujarnya, negara-negara baru bisa saja masuk dalam daftar pembatasan.

Kondisi ini memicu kecemasan luas, terutama di kalangan pencari suaka. Mehria, seorang perempuan Afghanistan berusia 23 tahun yang tengah mengajukan status pengungsi, menyampaikan perasaannya yang frustrasi.

"Kami telah menyerahkan ribuan harapan dan seluruh hidup kami... atas janji dari AS, tetapi hari ini kami menderita satu demi satu neraka," ungkapnya kepada AFP.

Dalih Keamanan Nasional dan Respons Gedung Putih

Presiden Trump menyebut bahwa kebijakan baru ini muncul sebagai respons terhadap "serangan teroris" yang terjadi baru-baru ini di Colorado.

Peristiwa tersebut melibatkan penyerangan terhadap komunitas Yahudi yang sedang menggelar aksi solidaritas bagi para sandera di Gaza. Penyerang dilaporkan sebagai seorang pria yang sebelumnya telah melewati batas izin visanya.

Trump menegaskan bahwa insiden tersebut "menegaskan bahaya ekstrem yang ditimbulkan bagi negara kita oleh masuknya warga negara asing yang tidak diperiksa dengan benar" atau yang melewati batas visa mereka.

Pemerintahannya kemudian menekankan pentingnya kontrol ketat terhadap perlintasan warga asing sebagai bagian dari strategi keamanan nasional.

Pejabat AS menyebutkan bahwa tersangka penyerang, Mohamed Sabry Soliman, merupakan warga Mesir yang telah tinggal secara ilegal setelah izin visa turisnya habis.

Meski demikian, larangan ini tidak mencakup Mesir, karena negara tersebut tidak termasuk dalam daftar yang dianggap paling berisiko.

Pengecualian, Sorotan Internasional, dan Kritik Internal

Meskipun larangan ini terkesan menyeluruh, beberapa pengecualian tetap berlaku. Atlet yang dijadwalkan tampil dalam Piala Dunia 2026 serta Olimpiade Los Angeles 2028 masih diperbolehkan memasuki AS. Selain itu, diplomat dari negara-negara terdampak juga tidak termasuk dalam cakupan larangan.

Namun, keputusan ini tetap memancing kritik tajam dari berbagai pihak. Kepala HAM PBB Volker Turk menegaskan bahwa "sifat Larangan Perjalanan baru yang luas dan menyeluruh menimbulkan kekhawatiran dari perspektif hukum internasional."

Di dalam negeri, para politisi dari Partai Demokrat ikut bersuara. Anggota Kongres Yassamin Ansari, yang memiliki latar belakang sebagai warga Iran-Amerika, menyampaikan kekecewaannya lewat platform X.

"Saya tahu penderitaan yang ditimbulkan oleh larangan perjalanan Trump yang kejam dan xenofobia karena keluarga saya telah merasakannya secara langsung," tulisnya.

"Kami akan melawan larangan ini dengan segala yang kami miliki."

Kritik juga datang dari kelompok-kelompok HAM yang menilai bahwa aturan ini tidak hanya diskriminatif, tetapi juga berisiko menambah penderitaan bagi mereka yang tengah berjuang mencari keselamatan dari konflik, kemiskinan, atau penindasan.

Alasan Administratif dan Label Terorisme

Bagi sejumlah negara seperti Afghanistan, Libya, Sudan, Somalia, dan Yaman, alasan utama pelarangan disebut karena tidak adanya otoritas pusat yang mampu memverifikasi dokumen resmi seperti paspor atau catatan kriminal warganya.

Sementara Iran dicap sebagai "negara sponsor terorisme", menjadikannya target utama dalam larangan ini.

Negara-negara lain yang masuk dalam daftar sebagian besar dinilai memiliki risiko tinggi terhadap pelanggaran batas visa.

AS mengklaim bahwa pelanggaran administratif semacam ini dapat menjadi pintu masuk bagi ancaman keamanan yang lebih besar, sehingga justifikasi pelarangan dianggap sah demi keselamatan nasional.

Meski demikian, pengamat kebijakan luar negeri menilai bahwa generalisasi semacam ini justru kontraproduktif.

Selain menciptakan ketegangan diplomatik, pendekatan yang terlalu keras berpotensi menghambat kerja sama internasional dan merusak reputasi AS sebagai negara tujuan bagi pencari keadilan dan perlindungan.

Advertisements
Share:
Editor: Trinita Adelia
Source:

Baca Juga

Rekomendasi

Advertisements