NOTIS.CO.ID - Pendapatan negara Indonesia sampai akhir Maret 2025 masih belum menunjukkan capaian yang menggembirakan.
Nilainya baru menyentuh angka Rp516,1 triliun, sedangkan belanja negara sudah lebih besar, yaitu Rp620,3 triliun.
Anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi PKS, Anis Byarwati, buka suara soal ini.
“Penerimaan perpajakan hingga akhir maret mencapai 16,1 persen dari target APBN, jauh lebih rendah dibandingkan tahun 2024 yang melampaui 20 persen, atau 2023 sebesar 24,96 persen. Tentu (hal ini) tidak bisa terlepas dari pengaruh ekonomi global, tarif dan efektivitas Coretax,” tegasnya.
Kalau pendapatan seret, otomatis banyak rencana bisa tertunda atau bahkan terpaksa dipangkas.
Di sinilah pentingnya langkah konkret untuk mengevaluasi dan menyempurnakan sistem perpajakan digital seperti Coretax agar makin optimal.
Potensi ekspor ke Amerika Serikat jadi peluang besar yang belum digarap maksimal
Anis menyarankan, salah satu solusi realistis adalah memperluas jangkauan ekspor ke pasar Amerika Serikat.
Dia menilai ada peluang besar yang belum digali sepenuhnya.
“Penetrasi pasar ini, bermanfaat besar bagi ekonomi Indonesia, karena memiliki multiplier effect yang besar dari penciptaan lapangan kerja untuk sektor padat karya,” ungkapnya.
Menurut hitung-hitungannya, kalau bisa mengambil 10 persen pangsa pasar dari kompetitor sejenis, Indonesia bisa meraih tambahan pemasukan sebesar US$6,4 miliar.
Angka yang cukup signifikan dan bisa menambal sebagian defisit yang ada saat ini.
Selain itu, peningkatan ekspor juga bisa memicu pertumbuhan di sektor industri lokal dan menyerap tenaga kerja.
Fokus ke sektor padat karya bakal menghasilkan dampak berantai ke berbagai lapisan ekonomi.
Misalnya, produksi meningkat, permintaan bahan baku naik, distribusi makin sibuk, dan UMKM turut bergerak.
Turunnya harga komoditas berdampak langsung pada Penerimaan Negara
Selain urusan ekspor, ada satu hal yang menurut Anis juga wajib jadi perhatian serius, yaitu fluktuasi harga komoditas.
Penurunan harga barang-barang unggulan seperti batu bara atau kelapa sawit secara langsung memukul Penerimaan Negara dari sektor Pajak dan PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak).
Bahkan, menurutnya, penurunan itu sangat sensitif dan bisa bikin target penerimaan bergeser jauh dari rencana awal.
Anis mengingatkan bahwa pemerintah harus bersiap menghadapi kondisi ini dengan strategi adaptif.
Bukan hanya menunggu pemulihan harga komoditas, tapi juga melakukan diversifikasi sumber Penerimaan Negara.
Misalnya dengan memperkuat sektor ekonomi digital, pariwisata, atau pengembangan energi baru terbarukan yang bisa jadi alternatif ke depan.
Meski begitu, dia tetap mengapresiasi kinerja penerimaan pajak yang mulai menunjukkan sinyal positif dibandingkan tahun sebelumnya.
“Kinerja yang sudah baik harus dipertahankan, seperti penerimaan kumulatif Desember 2024 sampai dengan Maret 2025 menunjukan peningkatan dibandingkan tahun sebelumnya. Pelaksanaan realisasi anggaran harus berjalan sesuai jadwal. Ini seringkali jadi hal tersulit untuk dilakukan, beragam instansi pemerintah mengalami keterlambatan penyerapan anggaran, padahal ketidakpastian global kian nyata sehingga memerlukan usaha yang masif dari setiap lini pemerintah,” jelas Anis.
Distribusi APBN harus menyasar sektor berdaya ungkit tinggi
Masih banyak sektor di Indonesia yang butuh dorongan kuat lewat distribusi APBN, terutama sektor-sektor yang punya daya ungkit ekonomi besar.
Sektor usaha kecil hingga besar perlu jadi target utama karena mereka bisa mempercepat perputaran ekonomi domestik.
Aliran dana ke sektor ini akan menciptakan usaha berkembang, tenaga kerja bertambah, konsumsi meningkat, dan pendapatan negara kembali naik.
Maka jangan sampai APBN hanya numpang parkir di rekening pemerintah daerah atau kementerian yang lambat menyerap anggaran.
“Apalagi menurut data Survei Bank Indonesia (BI) terjadi penurunan Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) dalam 3 bulan beruntun sejak Januari 2025 sehingga hal tersebut, harus menjadi concern atau fokus bagi para pemangku kebijakan,” ujarnya.