NOTIS.CO.ID - Negosiasi dagang antara Indonesia dan Amerika Serikat kembali panas.
Dalam waktu dua bulan ke depan, nasib Ekspor Indonesia ke AS akan ditentukan, terutama soal tarif impor yang selama ini jadi perdebatan.
Sejumlah menteri dari kabinet Prabowo Subianto dijadwalkan menggelar pertemuan dengan pejabat AS di berbagai forum internasional dalam waktu dekat.
Tujuannya jelas untuk memastikan hasil akhir negosiasi sejalan dengan harapan Indonesia.
Tapi seperti yang disampaikan ekonom dari CORE Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, pemerintah perlu lebih taktis karena Trump bukan tipe yang suka dengan hubungan dagang yang setara.
“Ia (Trump) lebih cenderung mendorong kesepakatan yang menguntungkan AS secara jangka pendek, seringkali dengan tekanan tarif sepihak,” katanya.
Indonesia harus bisa memanfaatkan celah sempit yang ada untuk tetap menjaga akses ekspor tanpa dibebani tarif tambahan, terutama untuk produk unggulan seperti tekstil, alas kaki, furnitur, dan barang elektronik ringan.
Indonesia incar perlakuan khusus seperti Vietnam di pasar ekspor AS
Yusuf menilai bahwa peluang Indonesia untuk meraih kesepakatan ideal sangat bergantung pada satu hal, harus mampu meyakinkan AS bahwa produk Indonesia tak akan merusak pasar domestik mereka.
“Namun, ini hanya mungkin jika kita mampu membuktikan bahwa produk kita tidak mengancam industri domestik AS dan ini tidak mudah. Peluangnya? Jujur, tidak besar. Apalagi jika Trump kembali memakai pendekatan America First,” ujarnya.
Karena kekuatan ekonomi Indonesia masih jauh di bawah China atau Uni Eropa, ruang tawar pun terbatas.
Menurut Yusuf, Indonesia tetap punya kesempatan jika bisa menawarkan sesuatu yang dibutuhkan Amerika.
Ia memberi contoh, kerja sama di sektor bahan baku transisi energi atau teknologi semikonduktor bisa jadi alat tukar untuk insentif tarif yang diinginkan.
Selama proses negosiasi berlangsung, Yusuf menyarankan agar fokus tidak hanya tertuju pada menjaga akses ekspor ke AS.
Lebih dari itu, pasar domestik juga perlu diperkuat supaya tetap kompetitif dan tidak kebanjiran produk asing akibat konsesi dagang.
Mineral kritis dan bahan baku energi jadi kunci tawar Indonesia
Di sisi lain, Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira, melihat ada peluang besar jika Indonesia memainkan kartu mineral kritis dengan tepat.
Menurutnya, kerja sama di sektor nikel, tembaga, dan bauksit bisa menjadi poin kuat dalam negosiasi.
“Selama ini peran perusahaan AS baik sebagai investor dan pembeli produk mineral kritis Indonesia masih rendah. Sementara 90 persen ekspor nikel olahan Indonesia ke China,” ungkap Bhima.
Dengan membuka akses ke pasar AS, Indonesia bisa memperluas jangkauan ekspor dan mengurangi ketergantungan pada China.
Bhima menilai perusahaan-perusahaan AS lebih tertib dalam hal lingkungan dan perlindungan tenaga kerja, yang bisa memberi nilai tambah bagi Indonesia jika kerja sama ini diwujudkan.
Pemerintah Indonesia pun sudah melakukan langkah awal.
Delegasi yang dipimpin Menko Perekonomian Airlangga Hartarto telah bertemu dengan perwakilan AS seperti Secretary of Commerce Howard Lutnick dan US Trade Representative Jamieson Greer.
Dalam pertemuan tersebut, Indonesia menyampaikan kesediaannya meningkatkan pembelian energi dari AS termasuk LPG, minyak mentah, hingga bensin, serta meningkatkan impor bahan pangan seperti gandum dan kedelai.
Selain itu, Indonesia juga menawarkan insentif berupa kemudahan izin usaha dan fasilitas pajak bagi perusahaan AS yang ingin menanamkan modalnya di tanah air.
Meski belum ada rincian angka dari Airlangga, langkah ini menunjukkan bahwa Indonesia siap mengimbangi tuntutan AS demi mendapat kesepakatan yang menguntungkan kedua belah pihak.