RI Negosiasi Tarif dengan AS, Keanggotaan BRICS Dinilai Bisa Jadi Penghalang

Trinita Adelia - Kamis, 17 Apr 2025 - 15:35 WIB
RI Negosiasi Tarif dengan AS, Keanggotaan BRICS Dinilai Bisa Jadi Penghalang
Menlu RI Sugiono (tengah atas) saat hadiri BRICS - Instagram @sugiono_56
Advertisements

NOTIS.CO.ID - Delegasi Indonesia resmi berangkat ke Amerika Serikat untuk menjalankan misi yaitu menegosiasikan Tarif Impor 32 persen yang diberlakukan Presiden AS Donald Trump.

Langkah ini jadi upaya besar dari Kabinet Presiden Prabowo Subianto untuk menghindari dampak jangka panjang terhadap ekonomi nasional.

Bukan hanya soal angka tarif, tapi juga bagaimana posisi Indonesia dipandang dalam kancah geopolitik internasional, apalagi setelah masuk sebagai anggota BRICS yang dianggap dekat dengan China.

“Berhasil atau tidaknya negosiasi sangat tergantung pada kemampuan para diplomat yang diutus ke AS,” kata pengamat ekonomi Gede Sandra.

Namun, ia juga memberi sinyal bahwa peluang keberhasilan negosiasi bisa jadi kecil karena kompleksitas hubungan internasional yang sedang berlangsung saat ini.

Dampak keikutsertaan Indonesia di BRICS terhadap strategi dagang

Langkah Indonesia bergabung ke dalam BRICS, blok ekonomi yang diisi negara seperti China dan Rusia membuat posisi tawar dengan AS menjadi rumit.

Menurut Gede Sandra, langkah ini bisa dianggap sebagai keberpihakan terhadap blok yang justru sedang berkonflik dagang dengan China.

“Kalau saya lihat peluangnya cukup kecil karena Indonesia sudah dikategorikan sebagai pendukung China dengan bergabungnya kita di BRICS,” ujarnya.

Jika negosiasi tarif ini gagal, Gede menyarankan agar Indonesia tak bergantung pada pasar AS dan mulai melirik opsi pasar baru di kawasan ASEAN.

“Jadi mungkin bila negosiasi gagal, sudah waktunya kita harus buka opsi pasar baru terutama di wilayah ASEAN,” ucapnya.

Delegasi ekonomi dan Diplomasi lintas kementerian diterjunkan langsung ke AS

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto memimpin koordinasi lintas kementerian sebelum keberangkatan delegasi Indonesia ke Amerika Serikat.

Lawatan diplomatik ini dijadwalkan berlangsung dari 16 hingga 23 April 2024, dengan fokus utama menegosiasikan tarif Perdagangan yang dikenakan sebesar 32 persen ke Indonesia oleh pemerintah AS di bawah Presiden Trump.

Menteri Luar Negeri Sugiono jadi salah satu yang pertama berangkat, disusul oleh Wakil Ketua DEN Mari Elka Pangestu, Wakil Menteri Keuangan Thomas Djiwandono, dan Airlangga sendiri.

Tak ketinggalan Menteri Keuangan Sri Mulyani dijadwalkan hadir dalam rangkaian pertemuan IMF-World Bank di Washington DC, sekaligus mendukung misi diplomatik ini.

Indonesia tawarkan kerja sama Perdagangan dan investasi sebagai win-win solution

Airlangga menyebut Indonesia menjadi negara pertama yang mendapat kesempatan langsung untuk melakukan negosiasi dengan pemerintahan Trump.

Kesempatan ini hadir setelah Pemerintah Indonesia secara resmi menyurati tiga kementerian penting di AS USTR, Secretary of Commerce, serta Secretary of State dan Treasury.

Dalam pertemuan ini, Indonesia membawa proposal lengkap dalam bentuk dokumen non-paper. Tawaran dari Indonesia meliputi isu tarif, hambatan non-tarif, serta skema investasi bilateral.

“Tentu beberapa hal tadi sudah dibahas dengan kementerian dan lembaga, sehingga kami sudah mempersiapkan non-paper yang relatif lengkap,” kata Airlangga.

Tarif tinggi dari AS jadi alarm keras bagi Ekspor Indonesia

Kebijakan baru Presiden Donald Trump yang diumumkan pada 2 April 2025 memicu gelombang keresahan di pasar ekspor global.

Pemerintah AS menaikkan Tarif Impor hingga 10 persen terhadap lebih dari 60 negara, termasuk Indonesia yang kena tarif paling tinggi yaitu 32 persen.

Berdasarkan unggahan resmi Gedung Putih di Instagram, Indonesia masuk peringkat kedelapan dalam daftar negara yang terdampak kebijakan tersebut.

Tak hanya Indonesia, beberapa negara Asia Tenggara lain seperti Malaysia, Kamboja, Vietnam, dan Thailand juga jadi korban tarif tinggi ini.

Malaysia menghadapi tarif 24 persen, Kamboja 49 persen, Vietnam 46 persen, dan Thailand 36 persen. Kebijakan ini seolah jadi pukulan telak untuk kawasan ASEAN yang selama ini dikenal sebagai mitra dagang aktif AS.

Advertisements
Share:
Editor: Trinita Adelia
Source:

Baca Juga

Rekomendasi

Advertisements