Mengapa Perempuan Masih Rentan Alami Kekerasan Seksual di Fasilitas Medis Indonesia

Trinita Adelia - Sabtu, 17 Mei 2025 - 13:35 WIB
Mengapa Perempuan Masih Rentan Alami Kekerasan Seksual di Fasilitas Medis Indonesia
ilustrasi - freepik @8photo
Advertisements

NOTIS.CO.ID - Masalah Kekerasan Seksual di fasilitas kesehatan masih menghantui perempuan di Indonesia, dan persoalan ini bukan sekadar soal oknum, tapi sistem yang dibiarkan pincang sejak lama.

Ketika ruang yang seharusnya aman justru berubah jadi tempat pelanggaran, banyak korban terpaksa diam karena budaya yang membungkam dan sistem yang tak berpihak.

Dilansir dari CNBC Indonesia, Professor Sharyn Davies, Direktur Herb Feith Indonesia Engagement Centre dari Monash University, mengungkapkan situasi ini tidak bisa dilepaskan dari akar masalah yang dalam, mulai dari struktur hukum yang lemah sampai norma sosial yang menormalisasi ketimpangan.

“Saya prihatin dengan ketimpangan kekuasaan yang begitu dalam dalam sistem layanan kesehatan, yang seringkali menyebabkan perempuan dirugikan. Di Indonesia, banyak dari masalah ini dianggap normal dan akhirnya terabaikan,” ungkapnya.

Walau ada hukuman seperti larangan praktik seumur hidup bagi pelaku, nyatanya perlindungan belum menyentuh sistem secara menyeluruh.

“Yang dibutuhkan adalah reformasi sistemik dari akuntabilitas, kerangka hukum, hingga pelatihan sensitivitas gender bagi tenaga medis,” tegas Profesor Sharyn.

Faktor struktural dan budaya yang memicu Kekerasan Seksual di fasilitas kesehatan

Layanan kesehatan bukan hanya soal medis, tapi juga etika, rasa aman, dan keadilan bagi pasien.

Sayangnya, kondisi di lapangan menunjukkan lemahnya sistem yang seharusnya jadi pelindung, malah kerap membuka ruang terjadinya pelanggaran seksual terhadap pasien perempuan.

Struktur yang tak mendukung, seperti sistem pengaduan yang tidak berjalan, kurangnya perlindungan hukum, hingga kultur rumah sakit yang terlalu hierarkis, memperbesar peluang terjadinya kekerasan.

Di institusi-institusi kesehatan, ketaatan sering kali ditempatkan di atas hak-hak pasien, yang membuat banyak suara korban tidak pernah terdengar.

“Secara budaya, ada kecenderungan untuk tidak menantang otoritas, adanya stigma terhadap pelapor kekerasan, dan norma yang menempatkan ketaatan di atas hak-hak pasien,” jelas Profesor Sharyn.

Di situasi seperti ini, keberanian untuk melapor menjadi tantangan besar karena korban takut akan stigma, dan tak percaya pada mekanisme perlindungan yang tersedia.

Minimnya sistem pelaporan rahasia memperburuk trauma korban

Di lingkungan Layanan Medis, sistem pengaduan seharusnya jadi jalur aman untuk menyuarakan ketidakadilan.

Tapi, kalau laporan saja bisa bocor dan membahayakan korban, bagaimana mereka bisa merasa aman untuk bersuara.

Sebagian besar rumah sakit dan klinik belum memiliki sistem pengaduan yang benar-benar rahasia dan berpihak pada pasien.

Korban sering kali harus menghadapi proses yang melelahkan, bahkan berisiko disalahkan. Hal ini makin memperparah trauma yang sudah mereka alami sebelumnya.

Profesor Sharyn mendorong perlunya mekanisme pelaporan yang jelas, aman, dan tidak menyalahkan korban.

Solusi tak bisa setengah-setengah, tenaga medis pun harus mendapat pelatihan wajib tentang etika dan isu gender, agar bisa peka terhadap situasi yang rawan pelanggaran.

Reformasi layanan kesehatan berbasis hak dan kesetaraan gender

Kalau sistemnya rusak, tambal sulam bukan jawaban. Reformasi menyeluruh dibutuhkan supaya layanan kesehatan benar-benar jadi ruang aman, bukan sumber trauma baru bagi perempuan.

Rekomendasi dari kalangan akademisi seperti Profesor Sharyn cukup jelas mulai dari peningkatan akuntabilitas institusi medis, penerapan hukum yang benar-benar melindungi korban, sampai edukasi wajib soal kekerasan berbasis gender bagi seluruh tenaga kesehatan.

Ini bukan cuma soal moral, tapi tanggung jawab profesional.

Peran universitas juga penting. Menurut Profesor Sharyn, lembaga pendidikan seperti Monash University punya kontribusi besar melalui riset berbasis bukti, pelatihan tenaga medis, dan keterlibatan dalam kebijakan publik. 

Belajar dari negara dengan sistem perlindungan pasien yang kuat

Beberapa negara sudah lebih dulu membenahi sistem mereka, dan itu bisa jadi contoh.

Swedia dan Kanada misalnya, menunjukkan bahwa regulasi dan edukasi bisa berjalan beriringan untuk melindungi hak pasien.

Di Swedia, regulasi kesehatan mewajibkan persetujuan yang diinformasikan secara lengkap sebelum tindakan medis dilakukan.

Selain itu, pasien bisa langsung mengakses Ombudsman untuk mengadukan pelanggaran.

Sementara di Kanada, pelatihan soal kekerasan berbasis gender sudah masuk dalam kurikulum pendidikan kedokteran, menjadikannya bagian dari kompetensi profesional.

Media harus hadir sebagai pelindung, bukan sekadar pelapor

Peran media dalam isu Kekerasan Seksual tidak bisa dipandang sebelah mata.

Cara media menyampaikan informasi bisa memperkuat suara penyintas, atau sebaliknya, malah memperdalam luka mereka.

"Laporkanlah. Tapi lakukan dengan pendekatan berpusat pada penyintas. Lindungi identitas mereka, hindari sensasionalisme, dan soroti konteks sistemik, bukan hanya kasus per kasus," pungkas Profesor Sharyn. 

Media bisa jadi sekutu penting dalam perjuangan ini, asal tetap mengutamakan keberpihakan pada korban, menjaga kerahasiaan, dan tidak menjadikan penderitaan sebagai komoditas viral.

Advertisements
Share:
Editor: Trinita Adelia
Source:

Baca Juga

Rekomendasi

Advertisements