Tiket Konser Cepat Habis Saat Ekonomi Sulit, Bukti Ketimpangan Sosial

Fenomena tiket konser ludes di tengah krisis ekonomi membuka tabir nyata ketimpangan sosial yang masih kuat di masyarakat Indonesia.
Trinita Adelia - Sabtu, 12 Jul 2025 - 10:30 WIB
Tiket Konser Cepat Habis Saat Ekonomi Sulit, Bukti Ketimpangan Sosial
Ilustrasi konser - freepik @bedneyimages
Advertisements

NOTIS.CO.ID - Di tengah narasi ekonomi yang disebut sedang menurun, antusiasme masyarakat dalam berburu tiket Konser justru semakin tinggi.

Fenomena ini tak sekadar mencerminkan kegemaran pada hiburan semata, tetapi juga membuka tabir ketimpangan sosial yang semakin mencolok di Indonesia.

Di satu sisi, sebagian kelompok mengaku tengah berjuang secara ekonomi, namun di sisi lain, Konser-konser tetap dipadati penonton bahkan banyak yang rela begadang demi mendapatkan tiket.

Melansir dari inilah.com Pengamat Sosial dari Universitas Indonesia, Rissalwan Habdy Lubis, melihat fenomena tersebut sebagai bukti nyata bahwa masyarakat Indonesia terbelah oleh struktur sosial dan ekonomi. 

Rissalwan menjelaskan bahwa masyarakat bukanlah satu kelompok homogen. Ada lapisan sosial yang terbentuk dari daya beli dan akses terhadap sumber pendapatan. "Kalau saya mau kaitkan dengan statistik, di Indonesia yang masuk kategori orang susah, orang miskin itu ada di desil 1 sampai desil 4," ujarnya, dikutip Sabtu (12/7/2025).

Kelas Sosial dan Konsumsi Hiburan

Pembagian desil yang dimaksud merujuk pada kelompok masyarakat berdasarkan tingkat pendapatan. Kelompok desil 1 hingga desil 4, yang mencakup 40 persen populasi terbawah, adalah mereka yang paling rentan secara ekonomi.

Mereka tidak memiliki aset maupun pendapatan tetap yang bisa menopang kebutuhan hidup sehari-hari.

"Mereka tidak punya aset dan sumber pendapatan yang bisa diandalkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari," jelas Rissalwan.

Sebaliknya, kelompok masyarakat dari desil 5 ke atas yakni kelas menengah hingga menengah atas memiliki fleksibilitas finansial lebih besar. Mereka inilah yang umumnya menjadi pasar utama untuk event hiburan seperti Konser

"Mereka ini, karena rutinitas harian yang melelahkan, tentu ingin mencari hiburan di luar aktivitasnya. Begitu ada tawaran Konser, mereka cepat beli, bahkan rela war tiket," lanjutnya.

Ketimpangan Hiburan Antara Kebutuhan Psikologis dan FOMO

Rissalwan juga mengungkap bahwa perilaku konsumsi hiburan saat ini tidak bisa disamaratakan. Menganggap semua pembeli tiket Konser sebagai korban FOMO (fear of missing out) dinilai kurang bijak.

Sebab, hanya kelompok menengah ke atas yang memiliki cukup waktu dan sumber daya untuk ikut arus tren dan pergaulan digital.

"Kalau soal Fomo, itu cuma berlaku untuk kelompok menengah ke atas. Mereka punya uang, lihat temannya beli tiket, ikut-ikutan. Tapi kelompok bawah? Mereka tidak sempat FOMO. Tapi mereka tetap butuh hiburan," paparnya.

Ia menekankan, menyamakan motivasi konsumsi antara kelompok miskin dan kaya justru menunjukkan ketidaksensitifan terhadap realitas sosial. 

"Masa orang miskin yang kerja keras setiap hari enggak boleh butuh hiburan? Mereka juga butuh rehat, butuh menyenangkan diri. Tapi kalau dianggap Fomo, itu kurang elok. Karena mereka sedang berjuang berkali-kali lipat untuk hidup," ujarnya.

"Yang Fomo ini cuma orang menengah ke atas saja. Jadi fenomena FOMO ini tidak untuk orang-orang yang struggling dalam hidupnya, berjuang keras," ucapnya.

Advertisements
Share:
Editor: Trinita Adelia
Source:

Baca Juga

Rekomendasi

Advertisements