NOTIS.CO.ID - Pernyataan Presiden ke-7 RI, Joko Widodo, soal mekanisme pemakzulan yang disebut harus dilakukan secara satu paket menuai sorotan tajam dari kalangan akademisi.
Selamat Ginting, seorang pengamat politik dan militer dari Universitas Nasional Jakarta, menyebut pandangan tersebut tidak sesuai dengan aturan konstitusi.
Ia menilai Jokowi kurang memahami hukum tata negara karena tidak memiliki latar belakang di bidang politik maupun pemerintahan.
Penjelasan soal mekanisme pemakzulan menurut ahli hukum tata negara
Dalam sebuah podcast yang tayang di kanal Inilah.com, Selamat Ginting menyampaikan pendapatnya secara lugas. Menurutnya, pemahaman Jokowi soal pemakzulan sebagai satu paket adalah sebuah kekeliruan.
"Itu keliru. Pasti orang ini seperti Jokowi, mohon maaf ya. Dia bukan background ilmu politik, bukan background ilmu pemerintahan, bukan background hukum tata negara. Lebih baik dengarkan kata-kata ilmuwan-ilmuwan ini daripada dengarkan Jokowi," ungkap Ginting, dikutip Sabtu (14/6/2025).
Ginting menegaskan bahwa konsep satu paket hanya berlaku saat pemilu, yakni ketika Presiden dan wakil presiden dicalonkan secara bersamaan. Namun, dalam konteks pemakzulan, keduanya bisa diberhentikan secara terpisah tergantung pada pelanggaran yang dilakukan.
Untuk memperkuat argumentasinya, Ginting mengangkat sejarah politik Indonesia. Ia menyebutkan contoh Wakil Presiden Mohammad Hatta yang mengundurkan diri pada masa Presiden Soekarno.
"Contoh, Wakil Presiden Mohammad Hatta minta mundur. Apakah kemudian Presiden Soekarno mundur? Enggak. Sampai berapa tahun? Sampai dia lengser enggak punya Wakil Presiden kan," katanya.
Jokowi membela Gibran, sebut pemakzulan harus ikuti sistem
Pernyataan Jokowi soal pemakzulan muncul dalam konteks membela anak sulungnya, Gibran Rakabuming Raka, yang kini menjabat sebagai Wakil Presiden RI. Gibran menjadi sorotan setelah muncul desakan dari sebagian pihak yang menginginkan ia dimakzulkan.
Dalam keterangannya kepada media saat ditemui di Solo, Jokowi meminta publik tetap berpegang pada mekanisme konstitusi. Ia menekankan pentingnya dasar hukum yang kuat dalam proses pemakzulan.
"Ya, negara ini kan negara besar yang memiliki sistem ketatanegaraan. Ya, diikuti saja proses sesuai ketatanegaraan kita," ujar Jokowi, Jumat (6/6/2025).
Lebih jauh, Jokowi membandingkan sistem ketatanegaraan Indonesia dengan Filipina. Menurutnya, dalam pemilu Indonesia presiden dan wakil presiden dipilih secara satu paket, sehingga logikanya pemakzulan pun harus satu paket.
"Pemilihan presiden kemarin kan satu paket. Bukan sendiri-sendiri. Di Filipina itu sendiri-sendiri, di kita ini kan satu paket. Ya memang mekanismenya seperti itu," tegas Jokowi.
Pemakzulan tak semudah membalikkan telapak tangan
Selain menegaskan soal paket pemilihan, Jokowi juga mengingatkan bahwa proses pemakzulan tidak bisa dilakukan secara gegabah. Ia menyebut bahwa langkah tersebut hanya bisa diambil jika terdapat pelanggaran hukum yang serius.
"Ya, negara ini kan negara besar yang memiliki sistem ketatanegaraan. Ya, diikuti saja proses sesuai ketatanegaraan kita," ulang Jokowi dalam pernyataannya.
Namun demikian, sejumlah pakar seperti Selamat Ginting menilai bahwa Jokowi terlalu menyederhanakan proses pemakzulan, dan mengabaikan aspek yuridis yang lebih kompleks.
Hal ini menjadi peringatan penting bagi publik dan elit politik agar tidak melupakan landasan hukum dalam mengambil langkah-langkah strategis terkait pemimpin negara.