RADARLAMPUNG.CO.ID - Mulai awal 2026, peserta asuransi kesehatan di Indonesia wajib ikut menanggung sebagian biaya berobat.
Kebijakan ini tertuang dalam Surat Edaran OJK Nomor 7/SEOJK.05/2025 yang mewajibkan penerapan skema co-payment atau pembagian risiko dalam layanan asuransi kesehatan.
Ketentuan ini berlaku untuk semua produk asuransi berbasis skema ganti rugi (indemnity) maupun layanan kesehatan terkelola (managed care), baik yang konvensional maupun syariah.
Kebijakan baru ini mengubah cara kerja asuransi yang selama ini dikenal memberi perlindungan penuh terhadap biaya berobat. Kini, peserta tetap harus membayar sebagian dari total klaim, setidaknya 10 persen, meskipun biaya tersebut telah tertera sebagai tanggungan dalam polis.
Ini berarti masyarakat tidak bisa lagi sepenuhnya mengandalkan asuransi sebagai penutup semua biaya kesehatan.
“Produk Asuransi Kesehatan harus menerapkan pembagian risiko (co-payment) yang ditanggung oleh Pemegang Polis, Tertanggung atau Peserta paling sedikit sebesar 10 persen (sepuluh persen) dari total pengajuan klaim,” demikian tertulis dalam beleid OJK tersebut, dikutip Kamis (5/6).
Skema Co-Payment Asuransi Kesehatan Akan Berlaku Nasional
Dalam penerapannya, jumlah pembayaran yang dibebankan kepada peserta memiliki batas tertentu. Untuk layanan rawat jalan, peserta hanya diwajibkan membayar maksimal Rp 300.000 per pengajuan klaim.
Sementara itu, untuk rawat inap, batas maksimalnya ditetapkan sebesar Rp 3.000.000. Namun, angka ini masih bisa lebih tinggi jika ada kesepakatan antara pemegang polis dan perusahaan asuransi, serta dicantumkan dalam perjanjian polis.
“Untuk rawat jalan Rp 300.000 per pengajuan klaim dan untuk rawat inap Rp 3.000.000 per pengajuan klaim,” tulis aturan itu.
Tujuan dari penerapan co-payment ini adalah membangun sistem asuransi yang lebih sehat secara finansial dan menghindari praktik over-klaim yang kerap terjadi.
Dengan kata lain, kebijakan ini ditujukan untuk memperkuat keberlanjutan industri asuransi serta mendorong peserta untuk lebih bijak dalam memanfaatkan fasilitas asuransi.
Penyesuaian Premi dan Repricing Kini Lebih Fleksibel
Tak hanya soal biaya klaim, OJK juga memberi lampu hijau kepada perusahaan asuransi untuk melakukan penyesuaian premi berdasarkan riwayat klaim maupun perkembangan inflasi kesehatan.
Artinya, Premi Asuransi bisa saja berubah saat perpanjangan polis, atau bahkan sewaktu-waktu di luar masa perpanjangan, asalkan disetujui oleh peserta.
“Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, dan Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi memiliki kewenangan untuk meninjau dan menetapkan Premi dan Kontribusi kembali (repricing) pada saat perpanjangan Polis Asuransi berdasarkan riwayat klaim Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta dan/atau tingkat inflasi di bidang kesehatan,” bunyi beleid itu.
Dengan fleksibilitas ini, perusahaan asuransi akan memiliki ruang gerak lebih besar untuk menyesuaikan tarif sesuai dengan tingkat risiko, serta menjaga kelangsungan bisnis di tengah tantangan biaya kesehatan yang terus meningkat.
Asuransi Mikro Tetap Bebas Co-Payment
Meski kebijakan ini berlaku luas, OJK memberikan pengecualian khusus bagi produk asuransi mikro yang dirancang untuk masyarakat berpenghasilan rendah.
Dalam skema ini, peserta tidak dibebani kewajiban co-payment demi menjaga keterjangkauan dan akses terhadap layanan kesehatan.
Langkah OJK ini menjadi penanda perubahan besar dalam lanskap asuransi kesehatan Indonesia. Di satu sisi, kebijakan ini mendukung keberlanjutan industri dan pengelolaan risiko yang lebih baik.
Namun di sisi lain, hal ini juga menimbulkan tantangan baru bagi masyarakat yang terbiasa mengandalkan asuransi sebagai jaminan penuh untuk biaya medis.
Maka, penting bagi kita semua untuk mulai mempersiapkan dana darurat pribadi dan memahami betul isi polis yang dimiliki. Dengan begitu, kita bisa lebih siap menghadapi perubahan kebijakan ini tanpa kehilangan perlindungan maksimal terhadap kesehatan.