NOTIS.CO.ID - Di tengah upaya negosiasi dagang yang semakin panas, Amerika Serikat mulai menyoroti kebijakan digital Indonesia.
Terutama sistem pembayaran berbasis QR code alias QRIS, yang justru sedang digencarkan pemerintah untuk memperluas akses transaksi digital di dalam negeri.
Sosiolog Universitas Indonesia, Rissalwan Handy Lubis, terang-terangan menyebut langkah Amerika ini seperti strategi terselubung buat menekan posisi Indonesia dalam negosiasi yang masih berjalan.
"QRIS ini sistem digitalisasi keuangan yang dibuat Indonesia mungkin tanpa negosiasi. Sementara harapan AS, Indonesia tetap gunakan sistem yang mereka kuasai seperti Visa, Mastercard, dan Amex yang memungkinkan mereka memantau perputaran uang," jelasnya.
Jadi, kalau ditelaah lebih jauh, ada kesan bahwa Amerika sebenarnya ingin mempertahankan dominasi atas Sistem Pembayaran global, bukan sekadar urusan interoperabilitas teknologi.
Posisi Indonesia dalam negosiasi tarif AS dinilai mulai dilemahkan
Rissalwan juga membongkar bahwa sorotan Amerika ke arah sistem digital Indonesia bukan semata soal teknologi, tapi punya agenda yang lebih dalam, berkaitan dengan tensi dagang yang dipicu tarif era Donald Trump.
"Saya kira ini bagian dari strategi untuk mencari-cari kesalahan. Negosiasi itu akan membongkar. Dan ini bisa jadi cara AS untuk memperlemah posisi Indonesia," ujarnya.
Dalam kondisi ini, teknologi seperti QRIS bisa berubah jadi simbol resistensi dan kedaulatan, bukan sekadar alat transaksi modern.
Kalau Amerika terus mendorong skema pembayaran global yang mereka kendalikan, sementara Indonesia berpegang pada sistem yang lebih mandiri, benturan kepentingan ini bisa saja merembet ke berbagai sektor lainnya.
Apalagi sistem seperti Visa dan Mastercard memungkinkan pengawasan terhadap arus dana lintas negara, yang tentu menguntungkan pihak pengendali sistem.
Sistem QRIS sejalan dengan strategi kedaulatan digital dan perlindungan data
QRIS memang bukan alat tukar, melainkan jembatan buat transaksi yang lebih cepat, aman, dan efisien.
Tapi bagi pemain global, langkah ini seolah jadi ancaman karena membatasi ruang mereka untuk mengakses data transaksi publik di Indonesia.
"QRIS ini sistem digitalisasi keuangan yang dibuat Indonesia mungkin tanpa negosiasi," jelas Rissalwan lagi.
Rissalwan juga membandingkan QRIS dengan sistem domestik yang dikembangkan China.
Di Tiongkok, Sistem Pembayaran digital seperti Alipay dan WeChat Pay sudah jadi bagian dari strategi nasional buat memperkuat kontrol terhadap aktivitas keuangan di dalam negeri.
Indonesia juga bisa mengarah ke sana dengan memperluas QRIS, tapi tetap butuh regulasi yang matang supaya tidak tumpang tindih dengan sistem e-money yang udah lebih dulu beredar.
Di Indonesia saat ini sudah ada beragam produk e-money seperti Tap Cash, Brizzi, dan Flazz, yang sering dianggap menggantikan fungsi uang tunai.
"Bank mengeluarkan berbagai e-money seperti Tap Cash, Brizzi, Flazz, yang seolah menggantikan fungsi uang. Padahal, secara hukum, uang tunai masih alat pembayaran yang sah," katanya.
Sistem keuangan Indonesia lebih disiplin dan tidak konsumtif
Satu hal yang juga dibedakan Rissalwan adalah soal filosofi dasar sistem keuangan antara Amerika dan Indonesia.
Di Amerika, model yang diusung seperti “spend now, pay later” alias gesek dulu bayar belakangan jadi prinsip utama sistem seperti Mastercard, Amex, atau Visa.
Tapi Indonesia justru menerapkan pendekatan sebaliknya, uang harus tersedia dulu baru bisa dipakai.
"Amerika mendorong pencatatan keuangan tapi dengan skema spend now, pay later, seperti model Visa, Amex, dan Mastercard. Indonesia justru mengembangkan sistem di mana uang harus ada dulu baru bisa digunakan. Ini bentuk kedewasaan sistem keuangan kita," tandasnya.
QRIS justru mempertegas arah pembangunan sistem pembayaran yang lebih bertanggung jawab, mandiri, dan berbasis dana aktual.
Jadi bukan cuma soal siapa paling cepat dan canggih, tapi juga siapa yang paling siap jaga stabilitas ekonomi domestik lewat Sistem Pembayaran yang adil, transparan, dan aman.