Pemilu dan Pilkada Tak Lagi Barengan, Begini Putusan MK Terbaru

MK tetapkan pemilu nasional dan Pilkada dipisah, sementara DPRD dan kepala daerah tetap dipilih secara serentak.
Trinita Adelia - Jumat, 27 Jun 2025 - 15:00 WIB
Pemilu dan Pilkada Tak Lagi Barengan, Begini Putusan MK Terbaru
Ilustrasi kotak suara - freepik
Advertisements

NOTIS.CO.ID - Mahkamah Konstitusi (MK) mengubah arah pelaksanaan Pemilu di Indonesia. Dalam putusan terbarunya, MK menetapkan bahwa Pemilu nasional seperti pemilihan presiden, anggota DPR, dan DPD akan dipisahkan dari Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).

Namun, pemilihan anggota DPRD tetap dilakukan bersamaan dengan Pilkada.

Langkah ini menjadi respons atas permohonan yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), yang mengusulkan jeda waktu antara pemilu nasional dan daerah agar proses demokrasi lebih efektif.

Keputusan MK ini dinilai sebagai bentuk penataan ulang sistem pemilu demi menciptakan proses yang lebih terukur dan agar pemilih bisa lebih fokus dalam menilai kinerja pejabat yang telah dipilih.

Alasan MK Pisahkan Pemilu Nasional dan Pilkada

Melansir dari detikcom, Jumat (27/6/2025), putusan ini merupakan hasil dari pengujian konstitusional atas beberapa pasal dalam Undang-Undang Pemilu dan Pilkada.

Gugatan yang diajukan Perludem terdaftar dengan nomor perkara 135/PUU-XXII/2024 dan menyasar sejumlah ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015.

"Menyatakan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5678) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang ke depan tidak dimaknai, 'Pemilihan dilaksanakan secara serentak di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota dan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota yang dilaksanakan dalam waktu paling singkat 2 (dua) tahun atau paling lama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan sejak pelantikan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah atau sejak pelantikan Presiden/Wakil Presiden',"  ujar Ketua MK Suhartoyo saat mengucapkan amar putusan, dikutip Jumat (27/6/2025).

Keputusan ini turut menyoroti fenomena jenuh Pemilu yang kerap terjadi jika pemilu nasional dan daerah digelar bersamaan. 

Pemilu DPRD dan Pilkada Tetap Serentak di Daerah

Meskipun pemilu nasional dipisahkan, MK tetap menyarankan agar pemilihan kepala daerah dilakukan bersamaan dengan pemilihan anggota DPRD.

Artinya, untuk tingkat provinsi dan kabupaten/kota, masyarakat masih akan memberikan suara dalam satu waktu untuk memilih gubernur, bupati/walikota, serta anggota DPRD.

"Menurut Mahkamah, keserentakan penyelenggaraan pemilihan umum yang konstitusional ke depan adalah dengan memisahkan penyelenggaraan pemilihan umum anggota DPR, anggota DPD dan presiden/wakil presiden, dengan penyelenggaraan pemilihan umum anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota dan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, wali kota/wakil wali kota," jelas Hakim MK Saldi Isra.

Putusan ini mencerminkan kebutuhan untuk merespons kondisi sosial-politik yang lebih kompleks. MK menyebut bahwa keserentakan yang terlalu luas membuat proses demokrasi jadi kurang efektif. 

Dampak Jangka Panjang untuk Parpol dan Tata Kelola Pemerintahan

Selain memperhatikan efektivitas pemilu, MK juga menggarisbawahi dampaknya terhadap partai politik. Ketika jadwal pemilu terlalu padat dan berdekatan, partai politik cenderung tidak memiliki cukup waktu untuk mempersiapkan kader-kader terbaiknya.

Akibatnya, pragmatisme menjadi lebih dominan dibanding ideologi partai yang seharusnya diperjuangkan.

Dengan sistem baru ini, partai politik akan memiliki ruang lebih luas untuk menyeleksi dan membina kader. Hal ini diharapkan mendorong lahirnya pemimpin daerah yang tidak hanya populer, tetapi juga memiliki integritas dan kapasitas.

MK juga mengingatkan bahwa pelaksanaan pemilu nasional dan Pilkada yang terlalu berdekatan bisa mengganggu pembangunan di daerah. Fokus masyarakat dan pemerintah daerah bisa terpecah antara kampanye nasional dan agenda pembangunan lokal. 

Masa Transisi Jadi Tanggung Jawab DPR

Mahkamah menilai, penyesuaian masa transisi dan jabatan pejabat daerah menjadi wewenang DPR sebagai pembentuk undang-undang.

"Mahkamah mempertimbangkan bahwa penentuan dan perumusan masa transisi ini merupakan kewenangan pembentuk undang-undang," tegas Saldi Isra.

MK juga mengusulkan agar perumusan ini dilakukan melalui rekayasa konstitusional agar tidak menimbulkan kekosongan hukum maupun kekacauan administratif.

Melalui pendekatan ini, masa jabatan gubernur, bupati, dan wali kota dapat diselaraskan dengan sistem Pemilu yang baru tanpa mengorbankan prinsip-prinsip demokrasi. 

Advertisements
Share:
Editor: Trinita Adelia
Source:

Baca Juga

Rekomendasi

Advertisements