NOTIS.CO.ID - Amerika Serikat kembali menyoroti sistem kepabeanan Indonesia, dan kali ini fokusnya tertuju pada kebijakan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang dianggap menyulitkan pebisnis asing.
Dalam laporan terbaru mereka, National Trade Estimate Report on Foreign Trade Barriers, Kantor Perwakilan Dagang AS (USTR) menyatakan bahwa cara Indonesia mengelola penilaian bea masuk belum sesuai standar internasional.
Metode yang digunakan dinilai bertentangan dengan Customs Valuation Agreement (CVA) milik WTO.
Pengusaha asal AS bahkan melaporkan kalau satu produk yang sama bisa dikenakan bea masuk berbeda tergantung wilayah di Indonesia, dan hal ini dianggap sebagai bentuk ketidakpastian yang membuat bisnis jadi berisiko tinggi.
Lebih parahnya lagi, laporan itu juga menyebut adanya kebijakan verifikasi pra-pengapalan yang mewajibkan pengecekan oleh surveyor sebelum barang dikirim ke Indonesia.
Aturan ini tertuang dalam Permendag No. 16/2021 dan mencakup beragam produk, mulai dari elektronik, tekstil, makanan dan minuman, sampai kosmetik.
Ketentuan Bea Cukai dan regulasi digital bikin pelaku usaha AS geleng-geleng kepala
AS menyebutkan bahwa hingga "31 Desember 2024, Indonesia belum menyampaikan pemberitahuan atas ketentuan ini kepada WTO sebagaimana diatur dalam Perjanjian Pemeriksaan Pra-pengapalan WTO", dan itu menjadi sorotan besar.
Mereka menilai langkah ini tak transparan dan menambah lapisan birokrasi yang tak perlu. Tidak heran kalau pebisnis AS merasa terjebak dalam labirin peraturan yang membingungkan.
Selain itu, sistem klasifikasi barang tidak berwujud seperti unduhan digital dan transmisi data juga jadi poin kritik.
Pemerintah Indonesia memasukkan hal ini ke dalam Bab 99 buku tarif, yang dianggap AS sebagai beban administratif berat karena dokumen yang diwajibkan belum jelas bentuknya.
Industri digital AS pun merasa proses ini menyita waktu dan tenaga, dan berpotensi menahan laju transaksi lintas negara.
Skema insentif petugas Bea Cukai bikin AS makin waspada
Salah satu poin yang bikin AS benar-benar angkat alis adalah soal insentif petugas bea cukai di Indonesia.
Dalam sistem yang berlaku saat ini, petugas bisa dapat imbalan sampai 50 persen dari nilai barang sitaan atau bea yang terutang dalam kasus pelanggaran.
AS khawatir insentif sebesar itu justru mendorong aparat menindak berlebihan demi imbalan, bukan karena alasan hukum yang benar.
Padahal dalam Perjanjian Fasilitasi Perdagangan WTO, negara anggota diminta menghindari sistem insentif yang tak proporsional.
Tujuannya jelas, supaya praktik penegakan hukum tetap objektif dan tidak digunakan untuk kepentingan pribadi.
“Dalam laporannya, AS menyebut Indonesia sebagai salah satu dari sedikit mitra dagang utama yang masih menerapkan sistem semacam ini,” tulis USTR.