NOTIS.CO.ID - Pulau Bali, ikon Pariwisata Indonesia yang terkenal di mata dunia, kini menghadapi tantangan serius akibat ledakan kunjungan wisatawan.
Di tengah popularitas yang terus melonjak, Bali justru terseret dalam pusaran overtourism yang membuat kehidupan warga lokal semakin terjepit.
Berdasarkan laporan terbaru, Bali menjadi pulau terpadat kedua di dunia setelah Pulau Jawa, dan fakta ini menimbulkan pertanyaan besar, apakah Pariwisata yang berlebihan masih layak dirayakan, atau justru perlu ditinjau ulang?
Bali disebut sebagai pulau terpadat kedua di dunia oleh Visual Capitalist
Dalam laporan yang dikutip dari Visual Capitalist dan dilansir oleh South China Morning Post, Bali kini berada di posisi kedua sebagai pulau dengan kepadatan tertinggi di dunia.
Dengan luas sekitar 5.780 kilometer persegi, pulau ini dihuni oleh 4,2 juta penduduk dan menerima lebih dari 60.000 Wisatawan setiap hari.
Jika dihitung, kepadatan tersebut mencapai 731 jiwa per kilometer persegi angka yang menunjukkan tekanan luar biasa pada berbagai sektor kehidupan di Bali.
Kondisi ini tidak sekadar berdampak pada infrastruktur fisik seperti jalan dan fasilitas umum, tapi juga menyentuh aspek sosial dan ekologis.
Ketersediaan ruang untuk tinggal menyusut, biaya hidup melonjak, dan kualitas lingkungan pun terancam. Ketidakseimbangan antara jumlah pengunjung dan kapasitas daya dukung pulau kian memperjelas bahwa Pariwisata massal harus ditata ulang secara strategis.
Sementara itu, masyarakat lokal mulai merasa kehidupan mereka dibatasi oleh dominasi sektor Pariwisata.
Wisatawan mancanegara melonjak, tapi warga lokal kehilangan ruang hidup
Selama tahun lalu saja, Bali menerima lebih dari 6,3 juta wisatawan asing. Prestasi ini bahkan membawa Bali meraih predikat sebagai pulau terindah di dunia tahun 2025 versi agen perjalanan Travelbag. Namun di balik semua itu, ada harga mahal yang harus dibayar penduduk lokal.
Sektor Pariwisata memang menyumbang hampir separuh dari roda ekonomi Bali. Tetapi dalam praktiknya, banyak warga yang justru merasa terpinggirkan dan kehilangan ruang dalam kehidupan sehari-hari.
Arus turis yang tidak terkendali mulai mengikis kualitas hidup masyarakat lokal, dari kesulitan akses jalan hingga pergeseran nilai budaya dan sosial.
Fenomena ini memperlihatkan adanya ketimpangan antara pembangunan untuk Wisatawan dan kebutuhan warga setempat.
Pemerintah akui tantangan, tapi sebut Bali belum alami overtourism
Meski kondisi di lapangan menunjukkan tekanan yang signifikan, otoritas setempat belum secara resmi mengategorikan situasi ini sebagai overtourism.
Kepala Dinas Pariwisata Bali, Tjok Bagus Pemayun, menyatakan, "Kami tidak mengatakan bahwa Bali mengalami overtourism. Jika kita melihat data jumlah kamar yang tersedia, apalagi jumlah wisatawan di tempat wisata, Bali masih dapat menampung kunjungan wisatawan. Satu-satunya kendala adalah di jalan, sehingga tidak terjadi kemacetan lalu lintas."
Namun, ia juga mengakui pentingnya pengelolaan lebih baik, terutama pada masa puncak liburan nasional dan internasional. Ketika perayaan besar seperti Natal dan Idul Fitri tiba, jumlah wisatawan melonjak tajam dan menyebabkan kemacetan ekstrem di sejumlah wilayah utama Bali.
"Bali harus selalu siap, karena sebagai destinasi wisata, dunia tidak akan menunggu. Bali harus siap setiap saat, apa pun acaranya. Namun, ketika ada hari istimewa, Anda harus lebih siap lagi," ujarnya.
Tanpa regulasi yang ketat dan strategi berkelanjutan, ketidakseimbangan ini dikhawatirkan akan menimbulkan krisis sosial-ekologis yang lebih besar di masa depan.