NOTIS.CO.ID - Ancaman terhadap jurnalis Tempo semakin menjadi-jadi. Kini, teror tidak hanya menyasar wartawan yang bertugas tetapi juga keluarganya.
Salah satu korban yang mengalami tekanan adalah orang tua dari Francisca Christy Rosana atau Cica, seorang jurnalis Tempo yang sebelumnya sudah lebih dulu diteror.
Serangan ini membuktikan bahwa aksi intimidasi terhadap media belum berakhir dan justru semakin sistematis.
Ancaman dan Peretasan Menghantui Keluarga Jurnalis
Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) mengecam keras teror yang tidak kunjung berhenti terhadap Tempo.
Koordinator KKJ, Erick Tanjung, menyatakan bahwa pelaku tampaknya memiliki keberanian lebih karena merasa kebal hukum.
Mereka terus melakukan ancaman dengan pola yang semakin terstruktur dan menyerang berbagai pihak terkait dengan korban utama.
"Teror ini juga menyerang keluarganya Cica, orang tuanya, ibunya juga mengalami teror," kata Erick, dilansir Tiktok Kamis, (27/3/2025).
Menurut Erick, peretasan akun pribadi milik ibunda Cica juga menjadi bagian dari skenario teror ini.
Pelaku tidak hanya mengintimidasi secara verbal tetapi juga memanfaatkan teknologi untuk menekan korban lebih jauh.
"Diancam dan juga ada sempat diretas, akun WhatsApp ibunya diretas dan tim KKJ sudah membantu untuk memilihkan akunnya," terangnya.
Kasus ini menunjukkan bahwa ancaman terhadap Kebebasan Pers di Indonesia masih menjadi isu serius.
Jurnalis yang berusaha mengungkap kebenaran justru menjadi target serangan, baik secara fisik maupun digital.
Serangan Cyber dan Doksing Makin Mengkhawatirkan
Serangan terhadap Cica sendiri belum berhenti. Setelah mengalami peretasan dan ancaman, ia juga menjadi korban doksing, di mana informasi pribadinya disebarluaskan untuk meningkatkan tekanan terhadapnya.
Strategi semacam ini semakin banyak digunakan untuk menekan jurnalis agar berhenti mengungkap fakta-fakta yang dianggap sensitif oleh pihak tertentu.
Menurut Erick, teror yang menimpa Tempo bukanlah aksi spontan, melainkan aksi yang sudah terencana dengan baik.
Pelaku tidak berhenti hanya pada satu metode tetapi menggunakan berbagai cara untuk memberikan efek ketakutan dan membatasi kebebasan jurnalis dalam bekerja.
"Persoalannya, artinya pelaku merasa punya impunitas, mereka tidak diproses secara hukum, jadi dengan leluasa mereka melakukan teror," ujarnya.
Situasi ini menimbulkan pertanyaan besar. Apakah hukum benar-benar bisa melindungi para jurnalis, ataukah ada celah yang memungkinkan pelaku teror tetap bebas bergerak?
Jika dibiarkan, ancaman terhadap Kebebasan Pers bisa semakin meluas dan menjadi preseden buruk bagi kebebasan berekspresi di Indonesia.
Polisi Diminta Usut Tuntas dan Ungkap Dalang Teror
Penasihat ahli Kapolri, Aryanto Sutadi, mengimbau agar para saksi terus berkoordinasi dengan kepolisian dan memberikan informasi yang diperlukan untuk penyelidikan lebih lanjut.
Menurutnya, setiap bukti yang ditemukan harus ditelusuri hingga ke akar masalahnya, termasuk siapa yang sebenarnya berada di balik teror ini.
"Ini harus dibuktikan siapa yang nyuruh. Kalau yang menyampaikan pasti disuruh doang. Makanya Polri dalam penyidikan harus tuntas, harus sampai siapa yang nyuruh, idenya apa, tujuannya apa," kata Aryanto.
Kasus ini kini dalam penyelidikan lebih lanjut oleh Bareskrim Polri. Mereka bahkan telah melakukan olah TKP di kantor Tempo pada Minggu, 23 Maret 2025, sebagai bagian dari upaya mengungkap pelaku di balik serangkaian teror ini.
Sebelumnya, Tempo juga sudah melaporkan kejadian ini, termasuk insiden teror kepala babi, ke Bareskrim pada Jumat, 21 Maret 2025.
Apa yang terjadi pada jurnalis Tempo semakin mempertegas bahwa ancaman terhadap kebebasan pers di Indonesia masih nyata.
Jika hukum tidak segera bertindak tegas, maka bukan tidak mungkin serangan semacam ini akan terus berulang dan semakin parah.