AI Disebut Menyesatkan soal Trump, Jaksa Missouri Siap Tempuh Jalur Hukum

Jaksa Agung Missouri siap gugat perusahaan AI karena chatbot dinilai bias terhadap Trump dan menyebarkan informasi menyesatkan..
Trinita Adelia - Sabtu, 12 Jul 2025 - 16:00 WIB
AI Disebut Menyesatkan soal Trump, Jaksa Missouri Siap Tempuh Jalur Hukum
Donald Trump - Instagram @realdonaldtrump
Advertisements

NOTIS.CO.ID - Kontroversi kembali mencuat dari dunia kecerdasan buatan. Andrew Bailey, Jaksa Agung Missouri, Amerika Serikat, mengancam akan menggugat sejumlah raksasa teknologi seperti Google, Microsoft, OpenAI, dan Meta.

Alasannya tak main-main, ia menilai chatbot AI buatan mereka menyampaikan informasi yang menyesatkan, khususnya saat menanggapi pertanyaan pengguna tentang urutan lima presiden AS dari yang terbaik hingga terburuk.

Yang menjadi sorotan utama Bailey adalah hasil dari chatbot AI seperti Gemini, Copilot, ChatGPT, dan Meta AI yang disebut-sebut menempatkan Donald Trump di posisi paling bawah.

Menurut Bailey, hasil ini menunjukkan bias yang mencolok dan mencederai objektivitas historis, terutama dalam topik sensitif seperti antisemitisme.

Bailey mengkritik keras bahwa jawaban Chatbot seharusnya bersifat netral, namun justru dianggap “sangat menyesatkan” ketika menanggapi pertanyaan sejarah yang menurutnya seharusnya sederhana dan berbasis fakta.

Ia bahkan menuntut akses terhadap dokumen internal perusahaan, termasuk hal-hal yang berkaitan dengan proses pemblokiran, penyensoran, hingga sistem penurunan peringkat yang berpotensi mencakup sebagian besar dokumen pelatihan model bahasa besar. 

“Respons yang membingungkan ini menimbulkan pertanyaan, mengapa Chatbot Anda menghasilkan jawaban yang tampaknya mengabaikan fakta sejarah objektif demi mendukung narasi tertentu?” tulis Bailey dalam surat resminya, mengutip The Verge.

Microsoft Copilot Justru Tak Pernah Menjawab Ranking Presiden

Ironi mulai muncul ketika satu dari chatbot yang dituduh, yakni Microsoft Copilot, ternyata tidak pernah mengeluarkan peringkat apapun.

Tuduhan itu berasal dari sebuah blog konservatif yang menguji enam Chatbot berbeda, termasuk Grok dari X (dulu Twitter) dan DeepSeek dari Tiongkok. Dua chatbot tersebut justru menempatkan Trump di posisi teratas.

Laporan dari Techdirt menunjukkan bahwa sumber asli yang digunakan Bailey justru menyebut Copilot menolak menjawab soal urutan presiden.

Namun, fakta ini tak menghentikan Bailey mengirimkan surat resmi ke CEO Microsoft, Satya Nadella, dengan tuntutan penjelasan terkait respons chatbot mereka.

Kesalahan ini makin memperburuk kesan bahwa tuduhan Bailey kurang berdasar. Bahkan dalam surat resmi yang ia kirim, disebutkan bahwa hanya ada tiga Chatbot yang menempatkan Trump di urutan terakhir, bukan empat seperti yang dinyatakan sebelumnya.

Tuduhan Sensor Politik dan Ancaman terhadap Perlindungan Hukum

Bailey juga menyinggung bahwa apa yang disebutnya sebagai “sensor terhadap Presiden Trump oleh Big Tech” seharusnya membuat perusahaan-perusahaan teknologi tersebut kehilangan perlindungan hukum sebagai penerbit netral.

Ia mengacu pada Pasal 230 dalam Communications Decency Act (Undang-Undang Kesopanan Komunikasi) yang selama ini dijadikan tameng hukum oleh banyak platform digital.

Namun, sebagian besar pakar hukum menilai argumen tersebut tidak berdasar dan cenderung menyerupai teori yang sudah lama dibantah.

Jika nama Bailey terasa familiar, itu bukan kebetulan. Sebelumnya, ia juga pernah berusaha menyelidiki Media Matters yang menuding platform X milik Elon Musk menayangkan iklan di konten pro-Nazi.

Sayangnya bagi Bailey, kasus tersebut tak berlanjut karena diblokir di pengadilan. Maka tak mengherankan jika penyelidikan terbarunya terhadap perusahaan AI ini juga diprediksi banyak pihak tidak akan berujung pada tindakan hukum nyata.

Advertisements
Share:
Editor: Trinita Adelia
Source:

Baca Juga

Rekomendasi

Advertisements