NOTIS.CO.ID - Kondisi ekonomi Bolivia semakin memburuk dan kini berada di ambang gagal bayar. Negara di kawasan Amerika Selatan ini membutuhkan suntikan pendanaan asing baru demi mencegah krisis keuangan yang lebih dalam.
Namun, jalan untuk memperoleh pinjaman tidak semudah itu. Di tengah tekanan politik dan keuangan, Presiden Luis Arce berupaya keras mempertahankan komitmen pembayaran utang negaranya, meski sumber daya semakin menipis.
Risiko gagal bayar makin dekat di tengah kebutuhan impor dan tekanan Utang Luar Negeri
Bolivia saat ini menghadapi tekanan utang luar negeri sebesar US$13,3 miliar atau sekitar Rp218 triliun. Mayoritas pinjaman berasal dari lembaga keuangan seperti Bank Pembangunan Inter-Amerika, Bank Dunia, Bank Pembangunan Amerika Latin dan Karibia (CAF), serta dari China.
Di saat bersamaan, kebutuhan negara akan dana untuk keperluan impor bahan bakar dan pembayaran utang makin mendesak.
Pada Desember mendatang, Bolivia membutuhkan dana sebesar US$2,6 miliar hanya untuk memenuhi dua kebutuhan tersebut. Namun, proposal pinjaman baru senilai US$1,8 miliar yang diajukan oleh Presiden Arce belum mendapat restu dari parlemen.
"Kami berusaha untuk tidak gagal bayar," kata Presiden Bolivia Luis Arce, dikutip dari AFP, Jumat (20/6/2025).
"Kami memiliki niat untuk membayar utang kami, tetapi bagaimana jika kami tidak memiliki sumber daya?" tambahnya.
Ketergantungan pada utang baru yang tak kunjung cair
Siklus utang Bolivia kini mengalami ketimpangan serius. Negara ini selama bertahun-tahun membayar cicilan pokok dan bunga utang dari dana hasil utang baru.
BACA JUGA: Eza Gionino Digugat Cerai Oleh Istri
Namun, skema ini macet ketika tidak ada lagi pinjaman segar yang masuk. Situasi ini membuat arus keluar dolar dari negara itu tidak bisa ditutupi seperti sebelumnya.
"Kita membuat kesepakatan terburuk sebagai sebuah negara," ucap Arce.
"Karena ketika seseorang memiliki Utang Luar Negeri, Anda membayar pokok dan bunga kepada kreditor, dan arus keluar dolar tersebut dikompensasi oleh arus masuk pencairan baru dari utang baru, yang tidak terjadi," jelasnya.
Berdasarkan data Bank Dunia, rasio utang Bolivia kini mencapai lebih dari 37 persen dari pendapatan nasional bruto. Terakhir kali Bolivia mengalami gagal bayar adalah pada tahun 1984. Kini, sejarah itu berpotensi terulang.
Krisis makin dalam, mata uang jatuh dan inflasi melonjak tajam
Kondisi ekonomi dalam negeri Bolivia tak kalah mengkhawatirkan. Kekurangan pasokan bahan pokok, bahan bakar, hingga valuta asing terjadi secara bersamaan.
Inflasi tahunan per Mei 2025 melonjak ke angka 18,4 persen, tertinggi dalam hampir 20 tahun. Nilai tukar Boliviano pun terus melemah seiring menurunnya kepercayaan pasar.
Situasi ini diperparah oleh anjloknya ekspor gas alam komoditas utama Bolivia. Perusahaan migas nasional YPFB mengakui bahwa cadangan ekspor gas semakin menipis akibat minimnya investasi eksplorasi.
Dampaknya, pendapatan dari sektor energi menyusut drastis dan membuat negara kekurangan devisa untuk impor, khususnya bahan bakar yang selama ini disubsidi untuk konsumsi domestik.
Bolivia, dengan populasi 12 juta jiwa, mayoritas berasal dari suku asli, sebenarnya menyimpan potensi besar dari kekayaan alam seperti litium dan gas. Sayangnya, potensi itu belum mampu dioptimalkan secara signifikan di tengah tekanan ekonomi global dan internal.
Ketegangan politik ikut memperparah Krisis Ekonomi yang sedang terjadi
Perseteruan politik di dalam negeri semakin memperkeruh kondisi. Arce yang menjabat sejak 2020 kini terlibat konflik terbuka dengan mantan presiden Evo Morales. Keduanya yang sebelumnya merupakan sekutu politik kini saling serang di tengah krisis.
Morales bahkan telah beberapa kali menggerakkan massa pendukungnya untuk menuntut Arce mundur dari jabatan.
Namun Presiden Arce menyatakan tidak akan mencalonkan diri lagi pada Agustus mendatang. Saat ini, tingkat kepuasan publik terhadap dirinya hanya berada di angka 9,0 persen, salah satu yang terendah di kawasan Amerika Selatan menurut survei Latinobarometro.
Sebelumnya, ia juga telah menolak seruan pengunduran diri yang disuarakan oleh sejumlah kelompok. Ketegangan politik ini turut menyebabkan kericuhan berdarah. Setidaknya empat polisi dan satu pengunjuk rasa dilaporkan tewas dalam bentrokan pekan lalu.