NOTIS.CO.ID - Kebijakan baru yang tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 32 Tahun 2025 menuai kontroversi publik. Salah satu poin paling disorot adalah alokasi anggaran Mobil Dinas untuk pejabat eselon I yang nyaris mencapai Rp1 miliar, tepatnya Rp931.648.000.
Kebijakan ini langsung memantik reaksi dari berbagai pihak, termasuk dari kalangan akademisi dan pengamat anggaran.
Melansir dari inilah.com Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, dengan tegas menyampaikan kritiknya terhadap pengadaan Mobil Dinas tersebut.
Menurutnya, kebijakan ini seharusnya dikaji ulang karena menunjukkan adanya standar fasilitas negara yang terlalu tinggi bagi pejabat. Ia menyebut, hanya di Indonesia pejabat hingga tingkat eselon II masih difasilitasi Mobil Dinas.
"Konsekuensi dari Mobil Dinas adalah biaya BBM, gaji sopir dan biaya perawatan yang tidak kecil. Belum lagi biaya untuk kendaraan pengawal yang juga tidak murah. Lebih baik fasilitas tersebut diganti insentif biaya transportasi dengan nilai yang lebih rasional," ujar Wija, dikutip Kamis (5/6/2025).
Wija juga menyoroti besarnya anggaran konsumsi dalam rapat-rapat kementerian. Ia menilai nominal Rp171.000 per orang terlalu berlebihan, bahkan lebih tinggi dari subsidi upah pemerintah yang hanya Rp150.000 per bulan, dan hanya berlaku selama dua bulan saja.
"Anggaran konsumsi rapat Rp171.000 juga terlalu tinggi. Di banyak negara, rapat hanya didampingi air minum atau mineral saja. Kalau pun tetap ada konsumsi, nilainya perlu lebih rasional," kata dia.
Wija menegaskan bahwa kebijakan pengadaan Mobil Dinas dan konsumsi mewah seperti ini sangat bertentangan dengan narasi penghematan anggaran yang dicanangkan oleh Presiden Prabowo Subianto.
Menurutnya, upaya efisiensi bukan hanya soal pengurangan angka, tetapi juga menyangkut keteladanan moral dan kepemimpinan.
"Penghematan biaya kendaraan dinas dan konsumsi tidak saja punya makna Efisiensi Anggaran, tetapi juga memberi teladan. Hadirnya konsistensi antara narasi pimpinan dengan aksi di lapangan," tegasnya.
PMK No 32 Tahun 2025 sendiri merupakan regulasi yang mengatur Standar Biaya Masukan untuk Tahun Anggaran 2026, dan diteken langsung oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani pada 14 Mei 2025.
Di dalamnya tertera satuan biaya pengadaan kendaraan dinas eselon I senilai Rp931.648.000, mengalami kenaikan dari tahun sebelumnya yang tercatat sebesar Rp878.913.000. Artinya, terdapat kenaikan sebesar Rp52,735 juta dibandingkan ketentuan dalam PMK No 39 Tahun 2024.
“Satuan biaya pengadaan kendaraan dinas merupakan satuan biaya yang digunakan untuk kebutuhan biaya pengadaan kendaraan operasional bagi pejabat, operasional kantor, dan/atau lapangan serta bus melalui pembelian guna menunjang pelaksanaan tugas dan fungsi kementerian negara/lembaga,” bunyi bagian penjelasan PMK Nomor 32 Tahun 2025.
Tak hanya menyangkut harga pembelian, peraturan tersebut juga menetapkan anggaran pemeliharaan dan operasional kendaraan dinas sebesar Rp42.350.000 per unit per tahun, atau sekitar Rp3,5 juta setiap bulannya.
Anggaran ini mencakup biaya bahan bakar, termasuk untuk kendaraan bermotor listrik berbasis baterai (KBLBB), namun tidak termasuk biaya pengurusan STNK yang mengacu pada peraturan lain.
"Satuan biaya ini tidak diperuntukkan bagi: 1) kendaraan yang rusak berat yang memerlukan biaya pemeliharaan besar dan untuk selanjutnya harus dihapuskan dari daftar inventaris; dan/atau 2) pemeliharaan kendaraan yang bersifat rekondisi dan/atau overhaul," bunyi peraturan tersebut.
Sayangnya, kebijakan ini justru berseberangan dengan langkah pemangkasan anggaran kementerian dan lembaga (K/L) yang sebelumnya telah diumumkan oleh Presiden Prabowo.
Di tengah kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih dan maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK) akibat perlambatan ekonomi, kebijakan ini dinilai menyakitkan hati masyarakat.
Banyak keluarga yang harus bertahan hidup dalam kekurangan, sementara sebagian pejabat justru menikmati fasilitas mewah dari negara yang dananya berasal dari pajak rakyat.
Alih-alih mencerminkan semangat efisiensi dan kepedulian terhadap kondisi masyarakat, kebijakan semacam ini justru berisiko menciptakan jurang kepercayaan antara pemerintah dan rakyat.
Mobil Dinas miliaran rupiah mungkin membuat para pejabat nyaman, tapi tidak akan pernah mampu menjawab keresahan rakyat yang kehilangan pekerjaan dan penghidupan.