Ahli Parenting Bongkar Bahaya Frasa "Gak Apa-apa Kok" Kepada Anak

Trinita Adelia - Senin, 28 Apr 2025 - 08:10 WIB
Ahli Parenting Bongkar Bahaya Frasa
Ilustrasi anak-anak - freepik @jcomp
Advertisements

NOTIS.CO.ID - Seorang peneliti mengungkapkan bahwa ada satu frasa yang kerap diucapkan orang tua saat anak menghadapi situasi emosional, namun justru berdampak negatif dalam jangka panjang.

Frasa tersebut adalah "gak apa-apa kok", yang dinilai bisa melemahkan Kesehatan Emosional anak jika terus digunakan.

Reem Raouda, seorang pelatih Pengasuhan Anak dan advokat kesehatan emosional anak, menjelaskan bahwa meskipun frasa ini terdengar menenangkan, efeknya terhadap perkembangan emosional anak bisa membahayakan.

"Saya telah mempelajari lebih dari 200 anak-dan saya telah melihat frasa yang bermaksud baik dan terlalu sering digunakan ini malah menyebabkan kerusakan jangka panjang dengan cara yang tidak pernah disadari oleh kebanyakan orang tua," kata Raouda, dikutip dari CNBC International, Senin (28/4/2025).

Mengajarkan anak meragukan emosinya sendiri bisa berdampak serius

Saat anak sedang merasa sedih atau kecewa lalu mendengar ucapan "gak apa-apa kok", pesan yang diterima justru berpotensi membingungkan.

Anak bisa belajar untuk tidak mempercayai apa yang ia rasakan, karena sinyal yang diberikan orang tua bertentangan dengan realita emosinya.

Dalam jangka panjang, hubungan anak dengan emosi batinnya bisa terputus secara perlahan.

Ia mungkin akan tumbuh dengan keraguan terhadap naluri sendiri, sehingga sulit mengembangkan kepercayaan diri dan stabilitas emosional yang sehat.

Penggunaan frasa ini secara berulang tanpa disadari bisa mengikis kepekaan emosional anak, terutama dalam fase perkembangan penting.

Membatalkan pengalaman emosional anak tanpa sadar memperlemah ikatan

Ketika seorang anak mengalami emosi kuat lalu mendengar frasa seperti "gak apa-apa kok", ada pesan tersembunyi yang terbentuk bahwa perasaannya tidak valid.

Walaupun disampaikan dengan niat menenangkan, bagi anak pesan itu bisa bermakna "perasaanmu tidak penting".

Pengabaian emosional, meskipun dalam bentuk yang sangat halus, berisiko menciptakan persepsi bahwa dukungan dan perhatian hanya hadir ketika anak bersikap tenang dan nyaman.

Di sinilah awal mula anak belajar untuk menekan emosinya, bukan memprosesnya.

Proses ini bukan hanya melemahkan rasa percaya diri anak, tetapi juga memengaruhi kedekatan emosional antara anak dan orang tua di masa depan.

Menghambat proses alami emosi yang dibutuhkan untuk ketahanan mental

Emosi dalam tubuh manusia dirancang untuk mengalir dan diproses secara alami.

Ketika anak dipaksa merasa "baik-baik saja" lebih cepat dari yang seharusnya, ia kehilangan kesempatan untuk mengenal, menamai, dan memahami emosi yang sedang dialami.

Proses pemulihan emosional menjadi terhambat, dan bukannya membangun ketahanan, anak justru cenderung mengembangkan mekanisme penghindaran. 

Memberi sinyal bahwa cinta bersifat bersyarat menimbulkan dampak jangka panjang

Sering kali tanpa sadar, frasa seperti "kamu baik-baik saja," "berhenti menangis," atau "jangan takut," memberi pesan bahwa cinta dan penerimaan tergantung dari kemampuan anak untuk mengendalikan emosinya.

Anak bisa belajar bahwa ekspresi emosi membuat dirinya kurang layak mendapatkan perhatian dan kasih sayang.

Ketika cinta terasa bersyarat seperti ini, rasa aman emosional yang merupakan pondasi utama kesehatan mental akan perlahan-lahan terkikis.

Dalam jangka panjang, anak yang merasa cintanya tergantung pada perilaku tertentu mungkin tumbuh menjadi pribadi yang sulit percaya diri dan sulit membangun hubungan yang sehat.

Mengubah cara sistem saraf anak merespons stres

Sistem saraf anak berkembang berdasarkan pengalaman berulang yang ia alami.

Jika dalam kondisi marah atau sedih anak mendapatkan reaksi penolakan, tubuhnya bisa belajar bahwa mengekspresikan emosi itu berbahaya.

Hal ini membuat sistem saraf lebih mudah masuk ke mode waspada atau pemutusan hubungan emosional, alih-alih merasa aman.

Akibatnya, di masa depan, anak mungkin mengalami kesulitan besar dalam mengatur stres, membangun kepercayaan diri, dan mengekspresikan diri secara otentik.

Alternatif frasa yang lebih mendukung Kesehatan Emosional anak

Alih-alih menggunakan frasa "gak apa-apa kok", ada banyak alternatif kalimat yang dapat memperkuat rasa aman emosional anak dan membantu mereka tumbuh lebih percaya diri. Berikut beberapa contohnya:

"Aku percaya padamu."

"Perasaanmu masuk akal."

"Aku di sini bersamamu."

"Kamu tidak harus baik-baik saja sekarang."

"Aku melihat apa yang terjadi. Bagaimana perasaanmu?"

Kalimat-kalimat ini tidak hanya menenangkan, tetapi juga membantu anak memahami bahwa emosinya diterima dan dihargai.

Dengan menggunakan bahasa yang memvalidasi, anak bisa belajar bahwa ia tidak sendiri dalam menghadapi perasaan sulit.

Advertisements
Share:
Editor: Trinita Adelia
Source:

Baca Juga

Rekomendasi

Advertisements