Kenaikan Tarif Ojol Bisa Picu Inflasi dan Eksploitasi Pengemudi

Rencana kenaikan tarif ojol menuai kritik tajam karena dinilai picu inflasi dan eksploitasi sistem kerja pengemudi secara sistemik.
Trinita Adelia - Minggu, 06 Jul 2025 - 16:00 WIB
Kenaikan Tarif Ojol Bisa Picu Inflasi dan Eksploitasi Pengemudi
Ilustrasi Ojek Online - freepik @mdjaff
Advertisements

NOTIS.CO.ID - Rencana pemerintah menaikkan tarif Ojek Online (ojol) hingga 15 persen menuai sorotan tajam dari berbagai pihak.

Isu ini bukan hanya soal ongkos naik, tapi menyentuh problem ekonomi mendalam, dari risiko inflasi hingga tudingan eksploitasi pengemudi dalam sistem kerja berbasis aplikasi.

Kenaikan Tarif Ojol Bisa Picu Inflasi 

Melansir dari inilah.com, Ekonom dari UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, menyoroti risiko makroekonomi yang dapat muncul akibat penyesuaian tarif ojol. Menurutnya, kebijakan ini berpotensi mempercepat laju inflasi, khususnya pada sektor barang konsumsi rumah tangga.

"Dari sisi makroekonomi, kenaikan Tarif Ojol menambah tekanan inflasi pada barang konsumsi rakyat," ujarnya.

Achmad menjelaskan, banyak pelaku usaha kecil dan menengah yang sangat bergantung pada layanan ojol untuk mengirim bahan baku maupun produk jadi. Jika tarif distribusi naik, harga barang otomatis ikut terkerek.

"Ketika tarif naik, biaya distribusi naik, harga jual barang pun terdorong naik. Pada akhirnya konsumen yang sebagian besar masyarakat menengah bawah harus membayar harga lebih mahal," jelasnya.

Jika keputusan tarif hanya ditentukan oleh regulator dan aplikator tanpa melibatkan pengemudi, maka yang diuntungkan hanyalah pihak platform.

"Jangan biarkan aplikator menikmati laba jutaan dolar, sementara para pengemudi hanya mendapat remah, bahkan tak memiliki ruang untuk menentukan skema kerja yang layak," ucapnya.

Sistem Kerja Ojol disebut Bentuk Perbudakan Modern Digital

Dari sudut pandang lain, Syafruddin Kamiri, ekonom Universitas Andalas, menyebut persoalan utama pada ekosistem ojol bukan cuma soal tarif, melainkan menyangkut struktur kerja yang eksploitatif. 

“Kebijakan dan sistem bisnis ojol saat ini memang mencerminkan gejala perbudakan modern berbasis aplikasi. Meski dibungkus dengan istilah 'kemitraan', kenyataannya pengemudi tidak memiliki posisi tawar yang sejajar,” kata Syafruddin.

Menurutnya, para Pengemudi Ojol bekerja penuh waktu, menanggung biaya operasional seperti bensin dan perawatan kendaraan, bahkan menggunakan kendaraan pribadi sebagai alat produksi.

Namun di sisi lain, mereka tak mendapatkan jaminan sosial, tidak memiliki perlindungan hukum, dan tidak pernah dilibatkan dalam penyusunan skema kerja.

“Lebih ironis lagi, keuntungan terbesar justru dikonsolidasikan di tangan aplikator. Entitas yang tidak menyediakan kendaraan, tidak membayar BBM, dan tidak menanggung risiko kerja harian,” ujarnya.

Ia menambahkan bahwa istilah ‘mitra’ hanya digunakan untuk menyamarkan relasi kerja yang pada praktiknya tidak setara.

“Tanpa perlindungan hukum dan hak dasar pekerja, Pengemudi Ojol hidup dalam ketergantungan ekonomi yang menyerupai struktur perbudakan modern,” tegasnya.

Potongan Biaya Layanan Ojol dianggap Pungli 

Anggota Komisi V DPR RI, Adian Napitupulu, dengan keras mempertanyakan keabsahan pemotongan biaya yang dilakukan aplikator.

"Ada paling tidak di data ini Rp29 ribu dipungut dari driver dan konsumen tanpa dasar hukum apa pun," ujarnya sambil mengangkat bukti transaksi dalam rapat kerja bersama Kemenhub di DPR RI.

Dalam transaksi tersebut, Adian memaparkan bahwa dari total tarif Rp81 ribu, terdapat pemotongan sebesar Rp29 ribu yang terdiri dari biaya jasa aplikasi Rp10 ribu, biaya lokasi Rp18 ribu, dan biaya perjalanan aman Rp1.000.

Ia menilai pungutan ini berlangsung tanpa regulasi yang jelas, bahkan ketika ditanya, perwakilan Kementerian Perhubungan membenarkan tidak adanya aturan hukum yang mengatur pungutan tersebut.

"Ini tidak diatur ini," kata salah satu perwakilan Kemenhub yang menjawab pertanyaan Adian.

Adian pun menilai negara terlalu lama membiarkan praktik ini terjadi tanpa pengawasan. Ia menyebut kondisi tersebut sebagai bentuk pembiaran pungli yang berlangsung sistemik.

"Bisa kita sebut pungli? Dan kalau kita bisa sebut pungli, bagaimana kalau saya katakan, negara bertahun-tahun membiarkan pungli bertriliun-triliun terjadi di depan mata kita," tandasnya.

Pemerintah Kaji Ulang Struktur Tarif Ojol 

Sementara itu, Dirjen Perhubungan Darat Kemenhub, Aan Suhanan, menyatakan bahwa pemerintah tengah mengkaji penyesuaian tarif ojol. Fokusnya adalah pada layanan roda dua, dan kenaikannya bervariasi tergantung wilayah.

"Kami sudah melakukan pengkajian dan sudah final untuk perubahan tarif, terutama roda dua, itu ada beberapa kenaikan. Bervariasi, kenaikan yang disebut ada 15 persen, ada 8 persen tergantung dari zona yang kita tentukan," ujar Aan.

Sampai saat ini, struktur Tarif Ojol masih mengacu pada Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KP 564/2022 yang membagi wilayah menjadi tiga zona.

Zona I meliputi Sumatera, Jawa (kecuali Jabodetabek), dan Bali dengan tarif Rp1.850 sampai Rp2.300 per kilometer.

Zona II mencakup Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi, dengan tarif berkisar antara Rp2.600 hingga Rp2.700 per kilometer.

Sedangkan Zona III meliputi Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua, dengan rentang tarif Rp2.100 sampai Rp2.600 per kilometer.

Advertisements
Share:
Editor: Trinita Adelia
Source:

Baca Juga

Rekomendasi

Advertisements