NOTIS.CO.ID - Ekonomi digital Indonesia kembali jadi sorotan setelah muncul dugaan praktik pungutan liar (pungli) oleh aplikator Ojek Online.
Alih-alih memberi diskon untuk menarik pengguna, pemotongan sepihak justru berujung merugikan pengemudi dan konsumen.
Kondisi ini mendorong tuntutan audit keuangan menyeluruh terhadap struktur tarif dan pendapatan di balik layanan transportasi daring.
Pemeriksaan Biaya dan Bagi Hasil Jadi Urgensi
Permintaan audit publik disampaikan ekonom Universitas Andalas, Syafruddin Kamiri. Seperti dilansir dari inilah.com, ia menilai bahwa praktik pemotongan oleh aplikator kerap dilakukan tanpa transparansi dan cenderung merugikan pihak paling lemah dalam ekosistem.
“Pemerintah perlu memerintahkan audit publik terhadap struktur biaya dan pembagian pendapatan antara aplikator, pengemudi, dan konsumen,” ujar Syafruddin, dikutip Jumat (4/7/2025).
Menurut Syafruddin, potongan bertajuk diskon sering kali dibebankan secara sepihak kepada pengemudi, bahkan disisipkan dalam bentuk biaya tersembunyi yang turut membebani konsumen.
Lebih lanjut, Syafruddin menyebut bahwa pemerintah perlu melibatkan lembaga pengawas dan kementerian terkait untuk mengungkap dugaan praktik tidak adil di balik aplikasi transportasi daring.
“Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) bersama Kementerian Kominfo dapat terlibat dalam menelusuri indikasi monopoli digital dan pungutan tanpa dasar hukum. Sementara itu, Kementerian Perdagangan bisa menyiapkan regulasi yang memastikan setiap biaya yang dibebankan kepada konsumen dicantumkan secara eksplisit dan dapat dikonfirmasi,” kata dia.
Kenaikan Tarif Bukan Jawaban bagi Nasib Pengemudi
Isu kenaikan Tarif Ojol juga tak luput dari perhatian. Kenaikan sebesar 8 hingga 15 persen dinilai tidak menjawab persoalan utama para pengemudi.
Bagi Syafruddin, masalah sebenarnya bukan pada nominal tarif, tetapi pada ketimpangan relasi kerja yang menempatkan pengemudi dalam posisi lemah.
Ia menyebut bahwa skema kerja aplikator terhadap pengemudi tak ubahnya bentuk baru dari eksploitasi modern.
Pengemudi bekerja penuh waktu, menanggung seluruh biaya operasional, dan menyediakan kendaraan pribadi, namun tetap tidak memiliki jaminan sosial ataupun jenjang karier.
“Lebih ironis lagi, keuntungan terbesar justru dikonsolidasikan di tangan aplikator. Entitas yang tidak menyediakan kendaraan, tidak membayar BBM, dan tidak menanggung risiko kerja harian,” jelas dia.
Kondisi ini makin rumit karena istilah ‘mitra’ kerap dijadikan kedok untuk menyembunyikan ketimpangan sistem kerja.
“Tanpa perlindungan hukum dan hak dasar pekerja, pengemudi ojol hidup dalam ketergantungan ekonomi yang menyerupai struktur perbudakan modern,” katanya.
Sorotan Tajam DPR Soal Pungli di Layanan Ojol
Dalam rapat kerja Komisi V DPR RI bersama Kementerian Perhubungan, anggota dewan Adian Napitupulu melontarkan kritik tajam atas ketidakterbukaan skema biaya yang dibebankan kepada pengguna dan pengemudi.
Ia membeberkan bukti transaksi Ojek Online sebesar Rp81 ribu, di mana Rp29 ribu dipotong tanpa kejelasan dasar hukum. Rincian potongan tersebut mencakup biaya aplikasi Rp10 ribu, biaya lokasi Rp18 ribu, dan biaya perjalanan aman Rp1.000.
"Ada paling tidak di data ini Rp29 ribu dipungut dari driver dan konsumen tanpa dasar hukum apa pun," ujarnya.
Adian juga menyampaikan bahwa tarif aplikasi dikenakan berbeda antara roda dua dan roda empat, yaitu masing-masing Rp2 ribu dan Rp10 ribu.
Ketika dikonfirmasi kepada pihak Kemenhub apakah pemungutan ini diatur, jawaban dari perwakilan kementerian cukup mencengangkan.
"Ini tidak diatur ini," ujar salah satu perwakilan kementerian saat menjawab pertanyaan Adian.
Tak hanya itu, Adian menegaskan bahwa negara telah lama menutup mata terhadap praktik yang ia nilai sebagai pungutan ilegal berskala besar.
"Bisa kita sebut pungli? Dan kalau kita bisa sebut pungli, bagaimana kalau saya katakan, negara bertahun-tahun membiarkan pungli bertriliun-triliun terjadi di depan mata kita," tandasnya.
Revisi Tarif Ojol Siap Diterapkan
Dirjen Perhubungan Darat, Aan Suhanan, menyampaikan bahwa perubahan ini menyasar kendaraan roda dua dan sudah mendapat persetujuan dari para aplikator.
"Kami sudah melakukan pengkajian dan sudah final untuk perubahan tarif, terutama roda dua, itu ada beberapa kenaikan. Bervariasi, kenaikan yang disebut ada 15 persen, ada 8 persen tergantung dari zona yang kita tentukan," ujar Aan.
Saat ini, Tarif Ojol masih mengacu pada Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KP 564/2022, yang membagi tarif berdasarkan wilayah:
Kenaikan tarif diharapkan membawa keadilan tarif bagi pengemudi, meskipun polemik terkait skema bagi hasil dan transparansi biaya masih menjadi pekerjaan rumah besar pemerintah.