NOTIS.CO.ID - Gunung Everest selama ini dikenal sebagai simbol kejayaan, keberanian, dan pencapaian tertinggi manusia dalam dunia pendakian.
Berdiri gagah di antara perbatasan Nepal dan Tibet, gunung ini menyuguhkan panorama luar biasa yang tak pernah gagal menarik minat petualang dari seluruh dunia.
Namun di balik kemegahannya, Everest menyimpan kisah kelam yang tidak banyak diketahui publik. Banyak yang tak sadar bahwa gunung ini juga dikenal sebagai tempat peristirahatan terakhir ratusan pendaki, menjadikannya "kuburan terbuka tertinggi di dunia."
Hingga akhir tahun 2024, lebih dari 335 orang kehilangan nyawa mereka saat mencoba menaklukkan gunung ini baik saat menuju puncak maupun dalam perjalanan turun. Di jalur pendakiannya, pemandangan jenazah yang membeku di salju bukan hal langka.
Dalam kondisi ekstrem, tubuh-tubuh tersebut tak membusuk, melainkan tetap utuh, membeku seperti patung yang diam-diam menyaksikan perjuangan pendaki lain. Realitas ini membuat banyak orang bertanya-tanya mengapa jasad-jasad tersebut dibiarkan begitu saja?
Evakuasi Jenazah di Everest Berisiko dan Sangat Mahal
Pertanyaan tentang alasan jenazah tidak dibawa turun dari Everest sering kali dijawab dengan dua kata mahal dan berbahaya. Biaya yang dibutuhkan untuk mengevakuasi satu jenazah dari gunung ini bisa mencapai angka fantastis.
Melansir dari Business Insider, nominalnya bisa menembus US$70.000 atau setara lebih dari Rp1 miliar. Ini bukanlah biaya yang bisa ditanggung oleh semua keluarga korban.
Lebih dari itu, proses evakuasi tidak hanya mahal tetapi juga sangat membahayakan nyawa orang lain. Pada tahun 1984, dua pendaki asal Nepal kehilangan nyawa saat mencoba menurunkan tubuh pendaki lain dari Everest.
Jalur sempit, suhu ekstrem, serta tekanan oksigen yang sangat rendah membuat setiap upaya penyelamatan atau evakuasi penuh risiko besar. Akibatnya, banyak jenazah tetap dibiarkan tergeletak di tempat terakhir mereka ditemukan.
Salah satu pendaki legendaris asal Nepal, Lhakpa Sherpa, mengungkapkan pengalamannya saat mendaki Everest pada tahun 2018. Ia mengaku melihat tujuh jasad saat menapaki jalur menuju puncak.
Green Boots dan Kisah-Kisah Tragis yang Tertinggal di Jalur Pendakian
Dari sekian banyak kisah tragis di Gunung Everest, salah satu yang paling terkenal adalah cerita tentang “Green Boots.” Julukan ini diberikan kepada jenazah seorang pria yang ditemukan di sebuah gua kecil di ketinggian sekitar 1.130 kaki dari puncak.
Ia dinamai demikian karena mengenakan sepatu bot hijau terang yang mencolok di tengah salju putih. Keberadaannya begitu ikonik hingga menjadi penanda tak resmi bagi para pendaki yang melewati jalur tersebut.
Green Boots bukan satu-satunya cerita yang membekas. Sutradara film dokumenter Everest, Elia Saikaly, pernah menuliskan pengalamannya melihat langsung kondisi ekstrem di gunung ini.
“Sulit dipercaya apa yang saya lihat di atas sana, kematian, kekacauan, antrean, mayat di jalur pendakian,” ungkapnya.
Jalur ke puncak Everest memang menawarkan keindahan luar biasa, tetapi juga menyimpan bahaya yang tidak semua orang siap hadapi. Bagi sebagian pendaki, keberhasilan menaklukkan puncaknya menjadi simbol keberanian.
Namun bagi yang gagal turun, kisah mereka berakhir sebagai peringatan abadi bagi generasi berikutnya.