Penghinaan! Hayao Miyazaki Kritik Tren AI yang Tiru Studio Ghibli

Trinita Adelia - Sabtu, 29 Mar 2025 - 09:00 WIB
Penghinaan! Hayao Miyazaki Kritik Tren AI yang Tiru Studio Ghibli
Hayao Miyazaki - YouTube @KindaNeet
Advertisements

NOTIS.CO.ID - Hayao Miyazaki, salah satu pendiri Studio Ghibli, meyakini bahwa animasi sejati harus memiliki jiwa.

Itulah mengapa film-film Studio Ghibli seperti "My Neighbor Totoro" hingga "Spirited Away" digambar dengan tangan, satu per satu, dengan ketelitian luar biasa, mulai dari desiran angin di padang rumput, cahaya lentera yang berpendar, hingga napas pelan tokoh-tokohnya.

Namun kini, gaya visual Ghibli dapat direplikasi oleh AI hanya dalam hitungan detik.

Ironisnya, teknologi yang dulu disebut Miyazaki sebagai "penghinaan terhadap kehidupan itu sendiri" justru semakin digandrungi untuk meniru karyanya.

Ledakan Gambar AI Bergaya Ghibli Memicu Kontroversi

Dalam setahun terakhir, alat pembuat gambar berbasis AI seperti Midjourney, DALL·E, hingga Stable Diffusion semakin memudahkan siapa pun menciptakan gambar bernuansa Ghibli.

Cukup ketik prompt seperti "hutan ala Ghibli dengan cahaya lembut dan arwah melayang", pengguna bisa mendapatkan ilustrasi yang menyerupai dunia Totoro atau bathhouse dalam "Spirited Away".

Gaya visual Ghibli warna pastel yang lembut, atmosfer puitis, dan ekspresi karakter yang manusiawi telah mengakar dalam ingatan kolektif para penggemar.

Maka tak heran, banyak orang tergoda untuk menggubah ulang gambar mereka menjadi "versi Ghibli" lewat teknologi.

Etika dan Hukum: Apresiasi atau Pelanggaran Hak Cipta?

Namun, tren ini tidak datang tanpa kontroversi. Dibalik ketakjuban visual, muncul pertanyaan, apakah karya AI yang meniru gaya seniman merupakan bentuk penghormatan, atau justru pencurian identitas artistik?

Studio Ghibli sendiri tidak pernah secara resmi menyatakan dukungan terhadap karya-karya berbasis AI yang meniru estetika mereka.

Bahkan, dalam sebuah dokumenter tahun 2016, Miyazaki pernah dengan tegas menyatakan bahwa teknologi semacam ini adalah sebuah penghinaan terhadap kehidupan. Ini menunjukkan sikap kerasnya terhadap penggunaan AI dalam seni.

"Saya merasa ini adalah penghinaan terhadap kehidupan itu sendiri."

Lebih dari sekadar pendapat pribadi, terdapat pula persoalan hukum dan etika. Banyak model AI dilatih dengan menyerap jutaan gambar tanpa persetujuan dari seniman aslinya.

Meskipun hasil akhirnya bukan salinan langsung, kemiripan yang mencolok tetap menimbulkan polemik soal kepemilikan artistik dan keadilan di ranah digital yang karyanya menjadi bahan latihan AI tanpa kompensasi yang layak.

Dari Tren Ghibli ke Era "AI Slop"

Popularitas AI dalam menciptakan gambar bergaya Ghibli juga tak bisa dilepaskan dari fenomena "AI slop", sebuah istilah untuk menyebut konten generatif berkualitas rendah yang membanjiri internet.

Saat ini, banyak pengguna media sosial yang memanfaatkan AI untuk menghasilkan gambar tanpa mempertimbangkan nilai estetika atau orisinalitas, semata-mata demi mengejar viralitas instan.

Dalam dunia digital yang serba cepat, seni semakin sering diperlakukan sebagai produk massal yang dapat diproduksi dalam hitungan detik.

Hal ini memunculkan pertanyaan yang lebih luas, apakah kita benar-benar menghargai seni, atau hanya mengeksploitasinya demi tren “viralitas instan” dan eksposur online?

Ghibli Milik Publik? Atau Warisan yang Dirampas?

Meskipun Hayao Miyazaki mungkin tidak akan pernah berdamai dengan teknologi AI, realitas dunia digital tetap berjalan dengan caranya sendiri.

Begitu suatu gaya visual masuk ke dalam budaya populer, ia berkembang tanpa bisa sepenuhnya dikendalikan oleh penciptanya.

Inilah dilema yang sedang terjadi—antara keinginan untuk melestarikan warisan artistik dengan kebebasan berekspresi dalam ekosistem digital yang semakin terbuka.

Apakah perkembangan AI dalam seni merupakan bentuk apresiasi terhadap karya Ghibli, atau justru mengubahnya menjadi sekadar estetika kosong tanpa makna.

Advertisements
Share:
Editor: Trinita Adelia
Source:

Baca Juga

Rekomendasi

Advertisements