NOTIS.CO.ID - Narasi bahwa Indonesia dijajah Belanda selama 350 tahun telah lama tertanam dalam benak banyak orang. Namun kini, pemerintah melalui Kementerian Kebudayaan RI mulai mempertanyakan kembali validitas sejarah tersebut.
Langkah ini diambil untuk memastikan bahwa cerita tentang masa penjajahan mencerminkan fakta yang akurat dan tidak hanya berdasarkan mitos lama yang terus diwariskan.
Menteri Kebudayaan Fadli Zon menyebut bahwa klaim 350 tahun penjajahan tidak tepat, terutama karena mengabaikan realitas perlawanan rakyat dan eksistensi kerajaan lokal yang tetap berdaulat selama berabad-abad.
"Enggak ada 350 tahun Indonesia dijajah itu. Kita itu melakukan perlawanan terhadap para penjajah itu," ucap Fadli, seperti dikutip dari CNN Indonesia pada Minggu (25/5/2025).
Banyak sejarawan kini sepakat bahwa klaim 350 tahun penjajahan terlalu menyederhanakan kondisi yang sangat kompleks.
Sejarah Panjang yang Tak Sesederhana Angka 350 Tahun
Jika menelusuri kembali ke masa lalu, angka 350 tahun biasanya dihitung dari kedatangan Cornelis de Houtman ke Banten pada tahun 1596 hingga proklamasi kemerdekaan pada 1945.
Namun hitungan ini dinilai menyesatkan karena menyamakan kehadiran awal bangsa Eropa sebagai pedagang dengan Kolonialisme formal yang baru berlangsung jauh kemudian.
Beberapa wilayah di Nusantara bahkan baru benar-benar dikuasai secara militer dan administratif oleh Belanda di abad ke-20. Misalnya, Aceh baru ditaklukkan pada 1903, disusul Bone pada 1905, dan Klungkung di Bali pada 1908.
Artinya, dominasi kolonial tidak terjadi serentak di seluruh wilayah kepulauan.
Dalam kenyataannya, berbagai kerajaan lokal seperti Kesultanan Yogyakarta, Kasunanan Surakarta, dan Kesultanan Ternate tetap menjalankan pemerintahan sendiri selama periode yang panjang.
Mereka bahkan menjalin hubungan diplomatik internasional yang menandakan status mereka sebagai entitas merdeka.
Narasi Nasionalisme dan Peran Tokoh Bangsa
Meski perhitungan 350 tahun dianggap tidak akurat, narasi ini tetap hidup dalam ingatan kolektif masyarakat Indonesia, berkat peran tokoh-tokoh besar yang menggaungkannya dalam semangat perlawanan dan persatuan.
Salah satunya adalah Presiden Soekarno yang dalam pidato kemerdekaan 17 Agustus 1946 menyatakan, "Selama 350 tahun kita mengalami hidup dalam Penjajahan Belanda." Kalimat yang sama juga muncul dalam pidatonya pada peringatan kemerdekaan tahun 1956.
Tokoh penting lain seperti Mohammad Yamin juga ikut memopulerkan angka tersebut.
Menurut sejarawan Asvi Warman Adam, penyebaran narasi ini lebih ditujukan untuk membangun nasionalisme dan menumbuhkan semangat kebangsaan di tengah rakyat yang masih berjuang mempertahankan kemerdekaan.
Namun, akar dari narasi tersebut bisa jadi justru berasal dari pernyataan Gubernur Jenderal Hindia Belanda de Jonge pada tahun 1935.
Ia pernah berkata, "Kami sudah berada di sini 300 tahun dan akan berada di sini 300 tahun lagi." Ucapan tersebut lebih bersifat politis daripada representasi dari kondisi faktual penjajahan di lapangan.
Fakta Historis Versus Mitos Lama
Salah satu tokoh penting yang membongkar mitos penjajahan 350 tahun adalah G.J. Resink, seorang ahli hukum asal Belanda yang banyak meneliti Sejarah Indonesia.
Dalam bukunya Indonesia's History Between the Myths (1968), Resink menegaskan bahwa kedatangan Belanda ke Indonesia pada abad ke-16 bukanlah bentuk penjajahan, melainkan perdagangan.
Menurutnya, Kolonialisme dalam bentuk nyata baru terjadi kemudian dan tidak merata di seluruh wilayah. Bahkan hingga awal abad ke-20, masih banyak kerajaan lokal yang berdaulat penuh dan belum tersentuh dominasi kolonial.
Ini menunjukkan bahwa penjajahan tidak berlangsung selama tiga setengah abad seperti yang sering diklaim.
Resink mencontohkan, jika kita mengambil titik awal penjajahan dari penaklukan Klungkung pada 1908, maka Belanda hanya menjajah Indonesia selama 37 tahun sebelum kemerdekaan 1945.
Fakta ini memperkuat pandangan bahwa narasi penjajahan 350 tahun lebih merupakan simbol perlawanan dan retorika politik ketimbang realitas sejarah.