NOTIS.CO.ID - Mempunyai ayah miliarder dan ibu keturunan bangsawan bukan jaminan hidup penuh kemewahan akan jadi pilihan.
Setidaknya itu yang dibuktikan oleh Yang Mulia Ven Ajahn Siripanyo yang memilih hidup sebagai biksu hutan dibanding menikmati kekayaan keluarganya.
Putra tunggal dari taipan bisnis asal Malaysia, Ananda Krishnan, ini menolak jalan pintas menuju kemewahan dan malah menapaki jalur sunyi penuh kontemplasi sebagai seorang Biksu Buddha.
Latar belakangnya yang penuh kemewahan tak mengubah pilihannya untuk menjalani kehidupan yang sangat sederhana, mengikuti ajaran-ajaran spiritual yang justru menolak materialisme.
Keputusan ini ternyata sepenuhnya datang dari dalam dirinya.
"Pilihan Ajahn Siripanyo sepenuhnya adalah pilihannya sendiri, dan itu dihormati dalam keluarga," begitu dikutip dari laporan South China Morning Post (SCMP), yang juga dilansir oleh Economic Times.
Bahkan sang ayah, meski dikenal sebagai sosok pebisnis besar dengan kerajaan bisnis senilai sekitar Rp 79 triliun, menghormati keputusan spiritual sang anak.
Ajahn Siripanyo lahir dari keluarga kaya dan bangsawan
Ananda Krishnan dikenal luas sebagai salah satu orang terkaya di Asia Tenggara.
Bisnisnya mencakup sektor penting seperti telekomunikasi, satelit, minyak, properti, hingga media, dan total kekayaannya ditaksir mencapai US$ 5 miliar.
Di sisi lain, ibu Ajahn Siripanyo, Suprinda Chakraban, bukan sosok biasa.
Ia berasal dari garis keturunan kerajaan Thailand, menjadikan darah kebangsawanan mengalir dalam diri Siripanyo.
Sejak kecil Ajahn Siripanyo sudah hidup dalam lingkungan yang bukan hanya kaya secara finansial, tetapi juga penuh status dan pengaruh.
Meski begitu, semua keistimewaan itu tampaknya tak menggoyahkan hati Siripanyo.
Pilihan hidupnya justru menjauhi semua hal yang lazimnya dikejar orang seperti uang, popularitas, dan kekuasaan.
Memilih jalan sunyi sebagai biksu hutan sejak usia 18 tahun
Ajahn Siripanyo memutuskan menjadi biksu saat usianya baru menginjak 18 tahun.
Keputusannya berawal dari retret singkat di Thailand, yang lama-lama menjadi komitmen spiritual seumur hidup.
Sejak itu, ia mendedikasikan dirinya untuk hidup sebagai biksu hutan dan kini bermukim di Biara Dtao Dum, dekat perbatasan Thailand dan Myanmar.
Selama lebih dari dua dekade, ia menjalani hidup yang jauh dari hiruk pikuk kota besar, menyatu dengan alam, dan bergantung pada kemurahan hati para umat untuk kebutuhan sehari-hari.
Tidak ada gaji tetap, tidak ada aset pribadi, bahkan tidak ada jaminan kenyamanan.
Satu hal yang menarik, ayahnya yang seorang miliarder tak pernah memaksakan jalan hidupnya.
Justru nilai-nilai spiritual Buddha yang diyakini keluarganya sejak lama tampaknya menjadi landasan kuat bagi keputusan itu.
Besar di London dan menguasai banyak bahasa
"Tumbuh besar di London bersama kedua saudara perempuannya, Siripanyo menyelesaikan pendidikannya di Inggris dan fasih dalam sedikitnya delapan bahasa. Paparan budaya ini telah membentuk pandangan dunianya dan memperdalam pemahaman tentang ajaran Buddha," tulis laporan tersebut.
Pendidikan tinggi dan wawasan global jelas membuatnya bisa saja mengejar karier apapun yang ia mau.
Tapi takdirnya justru membawanya ke jalan yang jauh dari kemegahan dan sorotan dunia.
Ia bahkan menggunakan kemampuan multibahasanya untuk menjangkau lebih banyak orang dalam ajaran Buddha.
Masih menjaga hubungan dengan keluarga tanpa lepas dari prinsip spiritual
Meski telah mengabdikan hidupnya sebagai biksu, bukan berarti Ajahn Siripanyo memutus hubungan dengan keluarga.
Ia tetap sesekali mengunjungi ayah dan keluarganya, tapi semua itu dilakukan dalam bingkai ajaran Buddha yang menjunjung ikatan kekeluargaan tanpa melekat pada harta.
"Kisahnya memiliki kemiripan dengan Julian Mantle, pengacara fiktif dalam The Monk Who Sold His Ferrari, perjalanan Ajahn Siripanyo menonjol sebagai contoh nyata yang langka tentang pilihan pengabdian spiritual daripada kekayaan materi," tambah laporan itu.