Musim Kemarau 2025 Mundur dan Lebih Singkat BMKG Ungkap Penyebabnya

BMKG sebut musim kemarau 2025 mengalami keterlambatan akibat anomali curah hujan dan bisa berlangsung lebih singkat dari biasanya.
Trinita Adelia - Selasa, 01 Jul 2025 - 14:13 WIB
Musim Kemarau 2025 Mundur dan Lebih Singkat BMKG Ungkap Penyebabnya
Ilustrasi Hujan - freepik @Kireyonok_Yuliya
Advertisements

NOTIS.CO.ID - Musim Kemarau tahun 2025 menunjukkan pola yang tidak biasa. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mencatat bahwa musim kemarau kali ini mengalami keterlambatan dan akan berlangsung lebih singkat dari tahun-tahun sebelumnya.

Kondisi ini erat kaitannya dengan tingginya curah hujan yang masih terjadi hingga awal Juni 2025 di sebagian besar wilayah Indonesia.

Meski secara klimatologis sebagian besar daerah seharusnya sudah memasuki Musim Kemarau, data BMKG menunjukkan bahwa baru sekitar 19% zona musim (ZOM) yang beralih ke musim kering.

Sementara itu, sebagian besar wilayah lainnya justru masih diguyur hujan dengan intensitas yang cukup tinggi. Situasi ini mendorong perubahan pola iklim yang perlu direspons secara adaptif, terutama dalam sektor pertanian dan kebijakan mitigasi daerah.

Kemarau Masih Tertahan Akibat Curah Hujan Tinggi

Kemunduran Musim Kemarau tahun ini tidak lepas dari tingginya curah hujan selama periode April hingga Mei 2025. Melansir dari CNBC Indonesia, Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, mengungkapkan kondisi ini merupakan akibat dari anomali iklim yang cukup signifikan.

"Prediksi musim dan bulanan yang kami rilis sejak Maret lalu menunjukkan adanya anomali Curah Hujan yang di atas normal di wilayah-wilayah tersebut," jelas, dikutip Selasa (24/6/2025).

Anomali tersebut paling terasa di wilayah Indonesia bagian selatan seperti Sumatra Selatan, Jawa, Bali, NTB, dan NTT. Kawasan-kawasan tersebut sejatinya tengah berada di masa transisi dari musim hujan ke Musim Kemarau.

Namun, alih-alih kering, justru masih dilanda hujan yang cukup deras.

BMKG mengungkap bahwa pihaknya sudah mengantisipasi fenomena ini lewat prakiraan iklim bulanan sejak Maret 2025. 

Distribusi Curah Hujan dan Potensi Dampaknya

Berdasarkan analisis curah hujan pada Dasarian I Juni 2025, sekitar 72% wilayah Indonesia mengalami kondisi normal, sementara 23% wilayah masuk kategori kering (Bawah Normal). Sisanya, sekitar 5% wilayah masih menunjukkan intensitas hujan tinggi (Atas Normal).

Sumatra dan Kalimantan mulai memperlihatkan tanda-tanda masuk Musim Kemarau, namun sebagian besar wilayah selatan seperti Jawa hingga NTT belum menunjukkan peralihan musim yang signifikan.

BMKG juga memperkirakan bahwa curah hujan dengan intensitas Atas Normal bisa terus berlangsung hingga Oktober 2025. Hal ini menyebabkan Musim Kemarau tahun ini kemungkinan besar akan lebih pendek dibanding biasanya.

Kondisi ini tentu membawa konsekuensi, khususnya bagi sektor pertanian. Curah hujan yang tinggi selama Musim Kemarau bisa menjadi berkah sekaligus tantangan.

Di satu sisi, ketersediaan air untuk tanaman padi tetap terjaga. Namun di sisi lain, tanaman hortikultura akan lebih mudah diserang hama dan penyakit akibat kelembapan tinggi yang berkepanjangan.

"Kami mendorong petani hortikultura untuk mengantisipasi kondisi ini dengan menyiapkan sistem drainase yang baik dan perlindungan tanaman yang memadai," ujar dia.

Adaptasi Iklim Jadi Kebutuhan Mendesak

Perubahan pola musim dan ketidakpastian cuaca semakin menegaskan pentingnya kesiapan semua pihak dalam menghadapi dinamika iklim yang kompleks. Dwikorita mengingatkan bahwa cara pandang lama terhadap pola musim sudah tidak lagi relevan.

"Kita tidak bisa lagi berpaku pada pola iklim lama. Perubahan iklim global menyebabkan anomali-anomali yang harus kita waspadai dan adaptasi harus dilakukan secara cepat dan tepat." pungkasnya.

Kesadaran akan perubahan ini harus melibatkan berbagai lapisan masyarakat, dari pemerintah pusat hingga daerah, dari petani hingga pelaku industri. 

Advertisements
Share:
Editor: Trinita Adelia
Source:

Baca Juga

Rekomendasi

Advertisements