NOTIS.CO.ID - Pasar internet di Indonesia masih seperti ‘wild west’ masing-masing penyedia bisa pasang harga suka-suka tanpa batasan resmi yang mengatur tarif.
Di tengah pesatnya perkembangan digital, faktanya belum ada regulasi yang mengendalikan harga Layanan Internet, bahkan ketika infrastrukturnya belum merata.
Menurut Muhammad Arif, Ketua Umum Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), fenomena ini bukan hal baru.
Para penyedia Layanan Internet sering bertanya apakah tarif bisa diatur, namun jawabannya selalu nihil.
“Kalau ujungnya setiap saya ketemu anggota saya yang ditanya cuma satu, Pak, itu bagaimana kita bisa mengendalikan tarif dari internet? Enggak bisa, Pak. Kalau ada yang berasa mau jual 1 rupiah, yang ngerasa untung, boleh-bolehan ya. Enggak ada yang ngelarang masalahnya,” tegas Arif dalam acara Indonesia Digital Forum, dikutip dari CNBC Indonesia, Jumat (16/5/2025).
Masih bebasnya penentuan harga itu bisa jadi keuntungan buat penyedia yang agresif, tapi di sisi lain memunculkan ketimpangan akses antar wilayah.
Internet Indonesia masih menumpuk di kota besar dan belum merata
Infrastruktur internet di Indonesia masih berkutat di daerah-daerah tertentu saja.
Walaupun anggota APJII sudah menyentuh angka 1.290 penyelenggara, mayoritas layanannya hanya berputar di sekitar kota-kota besar yang sudah ramai.
Arif menyebut bahwa dari ribuan anggota tersebut, hanya sekitar 1.200 yang benar-benar aktif dan beroperasi di sekitar 18 kota saja.
Padahal, Indonesia punya sekitar 550 kabupaten dan kota. Itu artinya, sebagian besar wilayah di Indonesia masih belum terlayani dengan baik oleh penyedia Layanan Internet.
“Bukan hanya menumpuk di kota-kota besar saja. Karena terindikasi sekarang dari 1200-1300 tadi, hanya terkonsentrasi di 18 kota saja. Bayangkan Indonesia punya 550 kabupaten kota ya, kurang lebih saat ini ya, tapi hanya menumpuk di 18 kota,” jelas Arif.
Situasi ini memperlihatkan bahwa masalah utama bukan hanya soal jumlah penyelenggara, tapi juga persebaran infrastrukturnya.
Banyak daerah yang belum tersentuh karena tidak dianggap menguntungkan secara bisnis atau terlalu berat dari segi biaya pengembangan.
Kecepatan internet lambat jadi tanda nyata lemahnya infrastruktur
Masalah konektivitas tidak berhenti di soal tarif dan penyebaran layanan saja.
Kecepatan Internet Indonesia juga masih kalah saing dengan negara-negara tetangga di Asia Tenggara.
Arif menekankan, data dan survei kecepatan internet tiap tahun selalu menempatkan Indonesia di posisi yang kurang menggembirakan.
“Tandanya kota-kota lain ini, tidak memiliki infrastruktur yang memang cukup baik. Nah, ya buktinya setiap tahun, kita selalu dihadapkan sama data-data survey yang kurang maksimal,” ujarnya.
Rasanya wajar jika masyarakat bertanya-tanya, kapan semua ini akan dibenahi. Internet bukan lagi soal hiburan, tapi sudah jadi kebutuhan pokok di zaman digital.
Tanpa koneksi yang andal dan merata, akses pendidikan, pekerjaan, dan informasi jadi makin timpang.