NOTIS.CO.ID - Di tengah tuntutan global terhadap industri yang lebih ramah lingkungan, pengusaha kelapa Sawit lokal mulai melirik teknologi baru untuk mengolah crude palm oil (CPO).
Langkah ini strategi mengurangi emisi karbon dan menjaga kandungan nutrisi sawit agar tetap optimal.
Ketua Umum Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI), Sahat Sinaga, menyebutkan bahwa sistem yang selama ini digunakan sudah ketinggalan zaman dan perlu pembaruan besar-besaran.
Menurutnya, langkah ini tidak hanya untuk memperbaiki mutu produk, tapi juga mengatasi masalah lingkungan yang selama ini menjadi sorotan.
"Perubahan teknologi pengolahan minyak Sawit sudah mulai ketinggalan zaman, dan dilakukan untuk mengurangi emisi karbon yang cukup tinggi, menjaga nutrisi sawit itu sendiri, dan meningkatkan kualitasnya," ujar Sahat, dikutip dari CNBC Indonesia, Jumat (16/5/2025).
Sahat mengungkapkan bahwa DMSI kini sedang menjalin kolaborasi dengan Agro Investama Group dalam mengembangkan teknologi baru bernama dry process.
Teknologi ini dipandang sebagai alternatif yang lebih efisien dan minim emisi dibanding metode konvensional yang mengandalkan air dalam jumlah besar.
Langkah ini juga melibatkan pertemuan dengan Menteri Ekonomi Kreatif, Teuku Riefky Harsya, dalam rangka mendiskusikan ide-ide kreatif seputar inovasi teknologi Sawit.
"Kami bekerja sama dengan Agro Investama Group untuk mengembangkan teknologi pengolahan Sawit dengan cara dry process. Kami juga telah bertemu dengan Menteri Ekonomi Kreatif membahas kreatifitas teknologi ini," jelas Sahat.
Kerja sama ini dinilai penting untuk mempercepat pengadopsian teknologi mutakhir dalam sektor Sawit, sekaligus membuka peluang pasar baru.
Dari sisi investasi, ketertarikan China menjadi kabar yang cukup menggembirakan.
Negeri Tirai Bambu itu menunjukkan minat kuat untuk mendanai pengadaan mesin pengolahan Sawit baru senilai US$ 9 miliar atau sekitar Rp 148,59 triliun.
China memberi syarat bahwa mereka ingin membeli hak emisi karbon serta 35% dari hasil produksi Sawit dari sistem baru tersebut.
Meski cukup signifikan, penawaran ini sedang dalam tahap penjajakan dan dinilai strategis oleh DMSI karena bisa mempercepat proses transformasi teknologi.
"China akan bersedia memberikan bantuan investasi mesin pengolahan sebesar US$ 9 miliar, dan mereka juga berniat ingin membantu petani kita, dengan catatan mereka diberikan hak untuk membeli emisi karbon itu dan 35% dari hasil produksi Sawit model baru bernutrisi tinggi, saat ini kami dengan China tengah dalam proses penjajakan," ungkap Sahat.
Kerja sama ini direncanakan akan berjalan selama tujuh tahun mulai 2026, dengan fokus utama pada pembangunan mesin-mesin pengolahan tandan buah segar (TBS).
Selama ini, kualitas Sawit Indonesia kerap diragukan oleh pasar internasional.
Melalui inovasi dan teknologi, DMSI ingin membalikkan anggapan tersebut.
Sahat punya harapan besar bahwa Sawit Indonesia tak lagi dipandang sebelah mata.
Dengan kualitas nutrisi yang lebih baik dan emisi yang lebih rendah, produk Sawit nasional bisa naik kelas dan mendapatkan pengakuan lebih luas dari negara lain.
"Kami berharap dengan adanya perubahan teknologi ini, kualitas Sawit kita nantinya bukan lagi menjadi loyang, tetapi menjadi emas," pungkasnya.